Sejauh ini waktu tidak pernah berjalan mundur. Tiga bulan sudah Tini begitu lihai menggunakan ponselnya. Tepat saat kenaikan kelas anak-anak, Tini membeli sebuah laptop. Dia benar-benar membutuhkan benda itu untuk menunjang karirnya.
Permintaan pakaian semakin melejit, janda beranak empat itu cukup kewalahan. Terlebih lagi stok dari bos mereka kadang terbatas. Tini dan dua karibnya tidak bisa terus-menerus bergantung pada bos mereka.
Tini sudah merencanakan keuangan jauh-jauh hari. Dia siap membeli mesin jahit jika dibutuhkan. Pinah siap belajar menjahit dan bekerja sama dengan Tini. Masalah penjualan, Pinah tidak terlalu piawai. Saat sedang naik-naiknya level permintaan pelanggan, Pinah menyerah. Semenjak Pinah masuk rumah sakit daya tubuhnya lemah. Dia sudah tidak dapat berjalan jauh lagi. Maka, ada jalan lain untuk mengais rezeki. Bergabung dengan Sartini merintis usaha dari nol. Bukan lagi berjualan mengambil barang dari bosnya yang dulu.
“Aku tidak enak kalau nanti nyuruh kamu ini itu jika kamu bekerja padaku, Pin.”
“Ayolah Tin, buang rasa tidak enakmu itu. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Alangkah lebih bagus kalau warga di dusun ini kita libatkan dalam usaha yang mau dirintis,” saran Pinah.
“Aku takut tidak bisa menggaji orang terlalu banyak. Memperkerjakan orang adalah tanggung jawab berat.”
“Aku sangat optimis kalau kamu bisa menyetir usaha ini.”
"Lantas, bagaimana dengan bos kita? Aku tidak enak kalau jadi saingan."
"Halah, itu gampang. Suamiku yang bakal mengurusnya. Lagi pula, kita tidak terikat hubungan kerja apa pun dengan mereka. Bos mana yang enggak senang anak buahnya bisa buka usaha sendiri?"
"Tetap saja, Pin. Aku enggak enak."
"Enggak enak gimana? Selama ini kita kan enggak pernah bertatap muka langsung sama si bos. Apa kamu lupa, selama ini kita ngambil baju-baju itu kalau enggak lewat suamiku, lewat orang dalam yang kerja di konveksinya. Selama kita enggak ada kontrak dan enggak terikat apa pun dengan label mereka, kita akan aman."
"Ya sudah. Besok temani aku beli beberapa mesin jahit dan perlengkapan lainnya, ya, Pin."
"Nah, gitu dong, Tin," seru Pinah girang menepuk pundak sahabatnya itu.
Keesokan harinya, Tini dan Pinah sibuk ke sana-kemari mengelilingi toko yang menjual mesin jahit. Tawar-menawar dengan sengit dilakukan oleh kedua belah pihak. Antara penjual dan pembeli.
"Pak mata sipit, ayolah kurangi lagi harganya. Kita kan beli empat mesin jahit sekaligus," celetuk Pinah pada bapak-bapak keturunan Tionghoa.
"Ya sudah. Saya ngalah. Saya kasih kamu orang berdua potongan lima puluh ribu," ujar pemilik toko.
"Segitu buat ongkos taksi saja kurang, Pak." Pinah tetap ngotot.
Tini menarik tangan Pinah dan membisikkan sesuatu. "Sudah, Pin. Ngalah saja. Kita dari tadi muter-muter cuma ini yang paling murah."
"Namanya juga usaha, Tin. Kita harus jadi pejuang diskon."