Tini dan Pinah sudah berkeliling kota. Mencari orang yang pandai menjahit. Mereka mendatangi berbagai tempat permak levis. Akan tetapi, belum apa-apa mereka sudah harus menerima begitu banyak penolakan.
Rata-rata dari mereka tidak tertarik dengan penawaran yang diajukan dua wanita tersebut.
"Siapa juga yang mau mempercayai kita dengan penampilan yang seperti ini, Tin? Mereka pikir kita enggak akan mampu bayar mereka." Sambil mengelap peluhnya yang merambat ke pelipis, Pinah mengeluh.
"Sabar, Pin. Aku yakin kita akan menemukannya." Tini menanggapi santai. Mereka berdua sedang berjalan di atas trotoar. Hanya hilir mudik kendaraan di jalan raya dua arah yang menjadi pemandangan sepanjang meraka berjalan.
Saat Tini hendak mengajak Pinah untuk duduk, beristirahat sejenak, dia melihat tulisan permak levis yang ditulis menggunakan huruf kapital tebal. Niatnya urung untuk mengajak rekannya beristirahat barang sejenak.
"Hey, Pin. Kau lihat? Ada tukang jahit lagi. Semoga kali ini berhasil."
Pinah melenguh panjang. "Baiklah, Tin, ini yang terakhir. Kalau ini masih gagal juga, kita kembali besok saja."
Dua wanita tersebut sudah berdiri di depan pintu rumah kecil bercat putih.
"Assalamu'alaikum. Permisi!" seru Tini. Pinah bagian mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
Seorang wanita muda keluar dengan rambut berantakan yang sepertinya memang tidak disisir. Mengenakan daster tanpa lengan dan bawahnya di atas lutut. Membuat bagian pahanya sedikit terlihat.
"Maaf jahitan lagi penuh banget, Bu. Kalau mau, di seberang sana ada juga permak levis." Wanita muda itu menguap panjang setelah memberikan penjelasan.
"Oh, bukan. Kami sedang mencari pelatih untuk tukang jahit pemula." Tini menyanggah sangkaan si wanita muda.
Wanita berdaster merah jambu dengan motif bunga-bunga kecil itu menaikkan alisnya. Beberapa kali menggaruk kepala. Dia memperhatikan Tini dan Pinah dari ujung kaki hingga kepala.
"Kalian dari mana?" Wajah sang wanita muda yang tadi sekaku dan sedingin es batu, kini lebih mencair.
"Kedrayasa," sahut Pinah cepat. Dia tidak tahan lagi untuk sekadar berbasa-basi.
"Oh, baiklah. Silakan masuk dan duduk di dalam."
Pinah sudah membayangkan pantatnya akan singgah pada sebuah kursi. Namun, kenyataannya wanita itu justru mempersilakan keduanya untuk duduk di atas tikar.
"Perasaan ini di kota, tapi enggak jauh sama kehidupan kita. Apa kamu yakin bakal nawarin kerjaan penting sama wanita ini?" Pinah berbisik ke dekat telinga Tini.
"Sudah, kita coba saja."
Wanita berdaster merah jambu keluar dari dapur membawa dua gelas air putih.
"Maaf, saya hanya punya ini saja," tawarnya sungkan.
Pinah langsung mengambil salah satu gelas dan menenggak isinya. Tenggorokannya amat kering akibat perjalanan jauh yang mereka tempuh.
Tini melirik Pinah dan menepuk pahanya. Memberi isyarat agar temannya itu bersikap lebih sopan. Pinah berjingkat
"Maaf, Tin, aku haus." Pinah mengusap-usap lehernya.
"Apa mau diisi lagi gelasnya?" tawar wanita berdaster merah jambu.