Wening sudah membereskan urusan jahitannya pagi-pagi sekali. Dia serahkan kepada rekan-rekan sesama penjahit. Jika sudah selesai, jahitan-jahitan itu akan dia kembalikan kepada pelanggan-pelanggannya.
Pukul tujuh pagi, Pinah dan Pak Karno turun ke kota. Menjemput Wening. Mesin jahit yang sudah cukup berumur sekaligus mesin obras diangkut dari rumah kontrakan Wening. Janda muda itu menatap sekali lagi rumahnya yang sudah bersih dari lembaran-lembaran bahan pakaian. Juga dari benang-benang yang berserakan. Dia berharap konveksi milik Tini yang baru merintis itu suatu saat bisa sukses dan turut mengharumkan namanya.
"Apa kau siap untuk hari ini?" tanya Pinah.
"Ya, tentu. Hari ini aku akan menjumpai murid-muridku." Wening tergelak.
Ada delapan orang di rumah Sartini yang menunggu kedatangan guru jahitnya. Empat orang pertama disuruh memegang mesin jahit termasuk Pinah. Dibimbing oleh Wening. Hari pertama mereka banyak mendapatkan teori kerimbang praktek. Prakteknya baru sedikit-sedikit. Menggunakan sisa bahan pakaian yang tidak
terpakai. Diambil dari konveksi bosnya Pak Karno.
Sisa orang yang lain diajari marketing oleh Tini dan Yati. Tini menerangkan dengan bahasa dan cara sesederhana mungkin. Semua memperhatikan dengan saksama.
"Apa semua tim akan berjualan ke kota seperti sales-sales barang elektronik yang sering kita jumpai?" tanya salah seorang ibu-ibu.
"Tidak. Kita akan mengutamakan jualan secara online. Dan akan bekerja sama dengan ekspedisi pengiriman," terang Tini. Dia kemudian menjelaskan tantangan-tantangan yang akan dihadapi.
Setelah tiga jam belajar, orang-orang yang tadi belajar marketing sekarang bergantian mencoba mesin jahit.
Hal itu berlangsung sampai dengan hari ke empat belas. Dua pekan ini mereka sudah sangat berusaha keras. Sedikit-sedikit dari mereka sudah diperbolehkan mengoperasikan mesin dan membuat baju dari yang paling mudah. Semua diawasi oleh Wening.
"Tangannya harus kuat sehingga menghasilkan jahitan yang lurus," tegur Wening saat mendapati ada yang melakukan kesalahan.
Minggu ke minggu. Bulan terus berganti. Tini merasa bangga dengan ketekunan dan keseriusan mereka.
Tini terharu dengan dukungan karibnya, perlahan dia benar-benar mengepakkan sayap. Usahanya mulai dikenal di berbagai penjuru. Setiap keuntungan yang diperoleh, dia sisihkan untuk membeli tambahan mesin jahit, mesin obras, serta alat-alat yang dibutuhkan untuk usaha konveksinya. Tini juga tidak perlu susah-susah mencari nama brand untuk pakaiannya.
“Malaikat Kembar” sudah resmi ditentukan Sartini sebagai nama merek pada setiap bandrol baju. Arti dari nama tersebut adalah keempat anak kembar yang seperti malaikat bagi seorang Sartini.