Kuncup Berlian

Ais Aisih
Chapter #36

Bagian 36

Sekali lagi waktu tidak berjalan mundur. Sudah tiga tahun lamanya Tini jatuh bangun mengendalikan usaha konveksinya. Dia begitu menekuni pekerjaan itu. Rumah sederhana peninggalan mendiang sang suami menjadi saksi bisu atas segala pencapaian Tini. Memang tidak mudah, tapi kenyataan telah membawa janda itu menjadi orang besar.

Nama Sartini sudah tidak asing lagi di dusun Kedrayasa dan kota sekitar tempat tinggalnya. Walau badai menghantam, Tini mampu melewati. Berbagai serangan yang menghampiri, dia terus melesat. Tidak heran rasanya jika kesuksesan dalam genggaman seorang Sartini. Biar begitu Tini tetap mengandalkan kedua sahabatnya. Yati dan juga Pinah.

“Apa kau selamanya akan tinggal di rumah ini, Tin? Sedangkan saat ini juga kau sudah mampu membangun sebuah istana.” Pinah menasihati Tini yang sedang beristirahat di kamar lamanya.

“Aku merasa tidak membutuhkan itu semua, Pin. Banyak sekali kenangan di rumah ini. Lagi pula rumah ini sudah banyak direnovasi.” Beberapa bulan lalu, Tini dan Pinah merenovasi rumah yang dijadikan pabrik kecil mereka itu.

“Siapa bilang jika kau membangun rumah itu untukmu. Kau tidak memikirkan anak-anakmu? Mereka sebentar lagi akan lulus dari pesantren. Paling tidak kau punya kejutan untuk putra-putrimu.” Sekali lagi perkataan Pinah begitu mempengaruhi kinerja otak Sartini.

“Kau selalu benar, Pin. Sementara aku tidak memikirkannya sampai sejauh itu.”

“Sudahlah, memang kau selalu begitu. Apa rencanamu selanjutnya?”

“Aku akan meminta bantuan kepada Bu Hajah Nurjanah. Sudah lama pula tak pernah mengunjungi keluarga mereka.” Walau getir hati harus menanggung malu atas penolakan Tini terhadap keluarga Bu Hajah waktu itu. Namun, dia harus tetap meminta bantuan kepada wanita yang sudah dianggapnya seperti orang tua itu.

“Apa perlu aku menemanimu?”

“Tidak usah, Pin. Kamu sangat dibutuhkan di sini. Kalau mereka butuh apa-apa, aku minta tolong padamu, ya.”

Pinah mengangguk tulus. “Lantas, kapan rencanamu turun ke kota?”

“Sore ini. Insyaa Allah.”

“Baiklah, aku akan melanjutkan kembali pekerjaanku.” Pinah mohon diri.

Tini membuka laptop, dia mulai merancang sesuatu. Sebuah perencanaan membangun istana untuk keempat anak kembarnya. Tini mulai mencari referensi desain rumah yang menarik. Sesekali dia menarik napas. Seperti mimpi memang rasanya jika si miskin Sartini sudah sampai pada pencapaian titik ini. Tapi benar apa kata pepatah, usaha tak akan membohongi hasil. Inilah imbalan yang layak untuk Tini dan keluarganya. Perjuangan dan pesakitan yang luar biasa tanpa orang lain turut merasakan. Kini Tini telah memetik hasil dari apa yang telah ditanamnya.

***

Dalam perjalanan ke kota, Tini mengingat masa yang telah berlalu. Saat dirinya menahan perih, lelah dan terluka. Jalanan ini menjadi salah satu saksi bisu. Setiap langkah adalah perjuangan. Setiap tetes keringat adalah kerja keras. Tini tak akan melupakan goresan kisahnya yang terukir pada masa lampau. Sartini mengenakan kerudung putih, pakaian gamisnya berwarna lavender, tetap sederhana. Tidak juga mencolok.

Dulu, kalau ke mana-mana Tini selalu menjadikan kantong keresek sebagai tas. Sekarang tas mahal pun dia sudah mampu beli. Bukan Tini namanya, kalau harus sengaja membeli barang-barang mahal. Sedangkan tas murah sama saja manfaatnya. Memang ada saja yang tak percaya, jika rumah sederhana di bukit milik Tini mampu mencetak banyak uang. Seorang Sartini hanya akan membuang-buang waktu kalau mengurusi omongan orang.

Faktanya, hanya dia dan orang-orang kepercayaannya saja yang tahu pundi-pundi uang dari usaha yang dihasilkan rumah produksi di rumah sederhana Tini. Orang-orang yang menjadi pelanggan tetap Tini selalu mengira pakaian yang mereka kenakan adalah dari pabrik besar. Nyatanya rumah produksi di Kedrayasa sana yang telah menciptakan banyak sekali pakaian-pakaian indah.

Lihat selengkapnya