Dengan berat Tini terpaksa melangkah pulang. Walau dia sudah memiliki uang banyak, tetapi tetap saja memilih berjalan kaki. Dia tidak ingin memanggil taksi untuk mengantarnya pulang. Biarkan dia menikmati kerinduan yang selalu bergulir di hatinya. Ada banyak hal yang dia tidak mengerti di dunia ini.
Bu Hajah yang begitu baik bernasib malang di masa tuanya. Sartini yang dulu amat menderita sekarang justru menjadi orang yang beruntung. Berbanding terbalik dengan kehidupan sebelumnya.
Setiap janda beranak empat itu melangkah, orang-orang yang melewati jalan sama dengan dirinya menyapa ramah. Tidak sedikit pula yang menjuluki “Sartini sang jutawan”. Sebenarnya Tini begitu risi dengan julukan itu. Mau dia jadi jutawan atau miliarder sekalipun Sartini tetaplah sama dengan yang dulu. Dia tetap menjadi orang yang amat sederhana.
“Kenapa sejak kau pulang, wajahmu terlihat murung, Tin?” Pinah membawa kertas desain yang akan ditunjukkan pada karibnya itu.
“Aku kepikiran sama Bu Hajah Nurjanah, dia sakit tapi semua anaknya pergi. Aku juga baru mengetahui hal itu tadi. Kasihan, masa-masa tuanya begitu menyedihkan. Tadi aku sempat menawarkan diri untuk tinggal di sana. Paling tidak, bisa mendengarkan keluh kesahnya. Mungkin itu bisa mengurangi bebannya.”
“Apa dia menolak?” Pinah memang tidak begitu mengenal Bu Hajah, tapi orang tua itu cukup terkenal di mana-mana. Sahabat Tini itu pun memiliki rasa iba yang tinggi.
“Iya, Pin. Beliau tidak ingin merepotkanku. Beliau bilang sudah ada asisten rumah tangga cukup sebagai temannya.” Tini tahu hal itu tidak pernah diinginkan oleh Bu Hajah. Setiap orang tua pasti ingin menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. Untuk itu Tini merasa amat sedih.
“Itu sudah jadi keputusan beliau. Kau juga pantas untuk menghargainya.”
Tini mengangguk. “Tapi aku sesering mungkin akan menjenguknya, Pin.”
“Ya sudah, aku selalu mendukung apa pun tindakanmu.”
Tini melempar pandangan ke luar, akankah masa tuanya kelak ketika anak-anak menikah akan sama menyedihkannya dengan Bu Hajah? Tini melepas napasnya dengan payah.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Tin?”
“Tidak ada.” Tini berbohong. Dia tidak mau terlalu banyak merepotkan Pinah dengan masalahnya. Apa lagi terlalu banyak yang merasuki pikiran.
“Pin, aku sudah mendapatkan rumah yang tepat.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, mungkin aku tak akan membangun rumah baru.”
“Oh, ya? Berarti kau ingin membeli rumah? Bukan membangunnya dari awal?”