Ketika air mata telah mengering, Tini baru berani menyampaikan surat wasiat dari Bu Hajah kepada putranya.
“Maaf Pak Bram, Bu Intan. Saya ingin menyampaikan surat wasiat ini. Dari almarhumah. Beliau menitipkan kepada saya pada saat-saat terakhir.” Tini berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
Dengan tangan gemetaran Pak Bram menerima surat tersebut. Perlahan membacanya dan menunjukkan kepada sang istri. Pasangan suami istri itu menelurkan butiran demi butiran air mata yang tak tertahankan.
“Apa ada pesan lain dari ibu, Bu Tini?” tanya Bu Intan mengelap air matanya.
Tini menggeleng. Ikut menangis. “Beliau hanya menyampaikan itu.”
Tiara yang kini sudah bertambah tinggi menatap dengan tatapan memelas pada Tini. Tidak mungkin gadis kecil itu merengek pada mantan pembantunya agar tetap tinggal. Dulu dan sekarang sudah amat berbeda. Bu Tini yang Tiara kenal sekarang sudah menjadi bos konveksi. Berita itu sudah melesat cepat ke telinga anak asuhan Tini.
“Bu, Tini.” Bukan suara Tiara yang memanggil. Tapi Bu Intan yang mencegah langkah Sartini ketika hendak pamit. Tini terkejut saat membalikkan badan, mantan majikannya itu langsung memeluk tubuhnya.
“Ada apa ini, Bu?” Tini tampak gugup. Dia sudah berjalan mencapai halaman rumah Bu Hajah. Tini celingukan. Takut ada orang yang melihat adegan ini. Mereka bisa salah paham dengan apa yang dilihatnya.
“Maaf, Bu saya malu kalau sampai ada orang yang melihat kita.”
Bu Intan segera melepaskan Tini. “Maafkan saya. Selama ini sudah melakukan dosa yang besar padamu dan anak-anak.”
“Maksud Bu Intan bagaimana?”
“Kamu pasti sangat paham. Saya dipenjara karena dua hal. Salah satunya karena percobaan pembunuhan. Hal itu selalu menghantui saya. Dan yang ke dua karena dokumen tentang penjualan mobil ilegal. Semua berkat Bu Tini. Saya banyak belajar dari semua hal yang menimpa saya.”
“Bu Intan tidak perlu khawatir. Saya sudah melupakan semua.” Tini tersenyum meyakinkan wanita yang masih memohon-mohon kepadanya.
“Saya sungguh menyesal.”
“Saya tahu, Bu. Dan saya sudah memaafkan segala kesalahan Bu Intan.”
“Bagaimana saya harus membayar semua kebaikanmu?”
“Bu Intan mau mengakui kesalahan dan minta maaf saja itu sudah membuat saya senang.” Tini tersenyum kembali. Saya hanya minta tolong jaga Tiara dan sayangi dia, Bu.”
Sartini hanyalah manusia biasa, jika Tuhan saja memiliki maaf yang begitu luas, maka apalah arti seorang Tini yang hanya seorang hamba. Dia hanya makhluk kecil di hadapan Tuhan-Nya. Walau hatinya masih berkabung, ada kelegaan dalam hati Sartini. Seorang anak manusia kini telah kembali ke jalan yang benar. Berani mengakui segala kesalahan. Dan yang paling penting menyesal atas perbuatannya.
Tini memang tidak pernah mendapatkan didikan yang layak selama hidupnya. Dia selalu belajar dari hal-hal yang tumbuh di sekitarnya. Alam pun berkonspirasi mengajarkan banyak hal kepada Sartini. Secara fisik memang Tini terlihat tak berilmu. Tapi nalurinya sebagai manusia mampu memanusiakan orang lain. Begitulah Sartini, hatinya lebih bernilai dari sebutir berlian.
***
“Ada apa Tin?” Penampilan Sartini yang tidak keruan membuat Pinah dan Yati menyerbu karibnya dengan pertanyaan.
“Iya. Seharian ini kau ke mana saja? Kenapa HP-mu kau tinggal? Kami kesulitan menghubungimu.
“Tadi pagi aku berniat mengantar makanan untuk Bu Hajah. Aku tidak sengaja melihat Bu Hajah yang sudah tersungkur ke lantai.” Tini terisak.
“Ya Allah. Lalu bagaimana keadaan beliau sekarang?” tanya Yati kembali.
Tini menggeleng. Sesekali menghapus air matanya yang terjatuh. “Aku membantu mengangkat tubuh beliau ke kamar. Setelah itu ... setelah itu ....”