Rumah Bu Hajah terlihat sepi dari luar. Hanya sisa-sisa kenangan yang masih bergelayutan dalam setiap benak.
Di ruang tengah, Pak Bram tengah membacakan kertas yang terlipat-lipat. Itu adalah surat wasiat dari sang ibu. Tentang pembagian harta warisan. Tentang beberapa pesan yang mesti dijalankan.
Bu Hajah berpesan dalam surat wasiatnya. Dia meminta anak-anaknya sering mengunjunginya di pemakaman kalau dia sudah tidak ada. Dalam surat itu juga tertulis alasan mengapa dia tidak pernah menceritakan penyakit yang dideritanya pada kedua putranya.
Pak Indra menangis dengan tergugu-gugu. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah. Seketika itu tangannya basah oleh air mata. Sang ibu tidak ingin membebani kedua putranya dengan penyakit yang dia derita.
Sang istri yang tidak banyak bercakap hanya mampu mengelus pundak sang suami untuk memberi sedikit ketenangan. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Inggrisnya juga buruk. Dia hanya menguasai bahasa Turki dan Arab. Selain kepada suaminya, dia hanya bisa berbicara dengan isyarat.
Bahu Pak Indra masih berguncang-guncang. "Kenapa ibu menyimpan rasa sakitnya sendiri? Kenapa dia harus merasakan penderitaan?"
"Kau tidak boleh seperti ini, Ndra. Ibu sudah tenang di sana. Kau pikir dengan menangis seperti itu, ibu akan merasa senang. Sama sekali tidak. Kita sama-sama hancur, kehilangan dan merasakan sakit yang sama. Ibu hanya meminta kita untuk terus bahagia dan tetap menjaga kesehatan."
"Kau tidak sedekat itu dengan ibu. Kau tidak mengerti bagaimana harus meninggalkan orang tua yang tinggal satu-satunya. Kau tidak mengerti ...." Pak Indra memukul-mukul meja.
"Ya, kau memang paling mengerti. Jadi, habiskan saja air matamu itu!" teriak Pak Bram. "Kalau kau tidak tega, lantas kenapa kau meninggalkan ibu, hah?"
"Aku tidak meninggalkannya. Tidak pernah. Kau tahu sendiri ibu tidak mau kubawa terbang ke Turki. Harusnya kau yang tahu diri. Kenapa kau harus pindah ke Semarang? Kenapa tidak tinggal di rumah ini bersama ibu? Menemani hari tuanya." Ini adalah kali pertama Pak Indra berteriak kepada saudara kandungnya sendiri. Urat-urat di lehernya menonjol keluar. Matanya berwarna merah merata.
Pak Bram kemudian bungkam. Adiknya benar. Seharusnya dia bisa tinggal di rumah ibunya, merawatnya sampai akhir hayat. Akan tetapi, saat itu kondisinya amat sulit dan membuat dia dan keluarganya amat tertekan.
"Kau benar. Aku yang salah. Harusnya aku tidak lari ke Semarang dan bertahan di sini. Aku lupa kalau masih ada orang yang akan menyayangi keluargaku dalam keadaan apa pun. Ya, hatiku telah dibutakan rasa gengsi. Aku menyesal. Tentunya rasa penyesalanku sudah tidak berarti sekarang ini." Pak Bram meninggalkan Pak Indra. Menyimpan air matanya. Untuk ditumpahkan di dalam kamar. Sendirian.
"Maafkan aku, Ndra. Mas Bram tidak sepenuhnya bersalah. Semua terjadi karena salahku." Bu Intan mengerlingkan sebelah matanya kepada istri Pak Indra yang masih setia di sebelahnya. Maksud Bu Intan adalah ingin berbicara empat mata dengan Pak indra. Istri Pak Indra pun langsung bangkit dari duduknya dan pergi ke luar.
"Ndra, aku dan Mas Bram sudah menjual rumah kami kepada Bu Tini. Terlalu banyak kenangan di kota ini. Biarlah, kami melanjutkan kehidupan di Semarang. Dan rumah ini adalah satu-satunya peninggalan ibu. Kau bisa merawatnya." Untuk sesaat Bu Intan terdiam. "Tapi kalau kau kembali ke Turki, tolong jual kepada orang yang tepat. Agar setiap kali kita merindukan ibu, kita bisa tetap berkunjung kemari."
"Bu Tini?" Pikiran Pak Indra menerawang ke udara. Apakah Bu Tini yang dimaksud kakak iparnya adalah janda beranak empat itu?
"Maksud Kak Intan, Bu Tini yang memiliki empat anak kembar. Yang tinggal di lereng gunung?" Suara Pak Indra merendah.
"Iya. Bu Tini mantan asisten rumah tangga kami. Wali murid anak didikmu. Si kembar empat. Reina, Reino, Nanda dan juga Nindi."
"Kenapa bisa dia?" Gurat wajah Pak Indra jelas menunjukkan rasa tidak percaya.
"Roda terus berputar, Ndra. Mungkin dulu dia berada di bawah. Namun, keadaan sekarang sudah terbalik. Bahkan, dia sudah mampu melampaui kita sekarang." Bu Intan tersenyum.
Untuk membuktikan ucapan kakak iparnya, Indra nekat pergi ke Kedrayasa. Menemui Sartini. Bukankah wanita itu yang dulu dibantu oleh dia dan ibunya.
"Kita mau ke mana, Mas?" tanya Ilya, istri Pak Indra dalam bahasa Arab yang fasih.
"Ke rumah seorang kerabat." Indra menjawab dengan fasih juga. Sebelum menjadi kepala sekolah, dia adalah lulusan sastra Arab terbaik di Universitas Indonesia di Jakarta.
Kedua mata Pak Indra terpaku pada rumah kecil yang dulu pernah dia datangi bersama ibunya. Mobilnya sudah terparkir di halaman rumah Sartini. Namun, langkahnya tiba-tiba terasa berat untuk turun.
"Mas, apakah ini rumahnya?"