"Tampaknya kau tidak bersemangat. Apa jangan-jangan kau tidak memiliki minat terhadap wanita? Yang mau kau jemput ini adalah bidadari, Ndra." Faisal membuka pintu kamar hotel yang akan menjadi tempat tinggal mereka sementara.
Tanpa minat Pak Indra menyeret koper. Meletakkannya di samping ranjang empuk. Dia menjatuhkan diri ke atas kasur berwarna putih. Penglihatannya menerawang ke atas. Di atas muncul bayangan Bu Hajah yang tersenyum. Kenapa pada momen penting dalam hidupnya, orang yang paling dicintainya tidak ada di dekatnya?
"Antara yakin dan enggak yakin, Sal. Aku sudah pernah gagal. Takut terjadi lagi. Aku cuma takut ibu kecewa untuk yang kedua kalinya. Itu saja." Pak Indra memejamkan mata yang berembun. Dia mengingat saat Bu Hajah merasa kecewa dan sikapnya berubah setelah penolakan oleh Sartini. Menjadi pelamun berat dan pola hidupnya tidak lagi sehat.
Saat Faisal menyadarkannya akan sebuah tanggung jawab berat menanti, Pak Indra sekeras mungkin berusaha. Menepiskan sejenak bayang-bayang wanita yang telah melahirkannya. Walau sebenarnya amat berat baginya.
***
Pak Indra termenung di depan sebuah rumah tradisional berlantai dua. Bangunannya terlihat sudah berumur. Dia menenggak ludah. Entah mengapa rasa grogi menguasainya. Faisal yang berdiri di sampingnya berusaha meyakinkan. Dia mulai memencet bel. Gerbang rumah terbuka.
Jantung Pak Indra seperti hendak lompat dari tempatnya ketika mereka diizinkan masuk oleh si empunya rumah. Bapak-bapak berperawakan kurus tinggi. Berkumis dan bercambang putih. Rambutnya pun memiliki warna serupa.
Dengan ramah Faisal menyalami bapak tua itu dan disambut pelukan hangat. Mereka berbicara Bahasa Turki. Pak Indra hanya mengerti sedikit-sedikit.
Faisal memberi pengertian bahwa sahabatnya fasih berbahasa Arab. Mereka berdua terlihat akrab. Bapak-bapak itu mengangguk.
"Masuklah, Nak!
Pak Indra mengangguk ramah. Di situlah dia merasa mulai tidak yakin. Apakah langkahnya sudah tepat sejauh ini. Kenapa dia begitu berani memasuki rumah orang asing?
Dua orang wanita menyambut ramah di depan pintu. Yang satu hampir sebaya dengan bapak-bapak tua tadi. Pak Indra menebak wanita itu adalah ibu dari sang gadis. Satunya lagi wajahnya ditutup kain cadar, hanya terlihat bagian matanya saja. Gadis itu terus menunduk malu. Apakah dia tulang rusuk yang selama ini kucari? Hati Pak Indra terus bertanya-tanya.
Dua tamu mereka kemudian dipersilakan duduk. Wanita-wanita tadi mengeluarkan berbagai jenis makanan dari dapur. Dihidangkan khusus untuk tamu-tamunya.
Keringat dingin sudah melumuri tubuh Pak Indra. Dia mendaratkan pandangan kepada gadis di depannya. Matanya terasa sejuk. Wanita yang begitu anggun.
Faisal mulai menikmati hidangan. Dia mengambil sepotong kebab jumbo. Karena ukurannya yang besar, susah sekali untuk masuk ke dalam mulut. Saus-sausnya sampai meleleh keluar. Membuat berlepotan di sekitar mulut. Kebetulan sekali perutnya merasa lapar karena tidak sempat sarapan di hotel.
Sementara Pak Indra hanya mengambil sepotong baklava. Selera makannya sedang menurun. Coba saja kalau dia sedang tidak merasa gugup, suda pasti semua makanan lezat itu akan dicicipi olehnya.
"Terima kasih banyak atas jamuannya. Kami sangat menikmati," ujar Pak Indra fasih berbahasa Arab. "Insyaa Allah Anda semua sudah mengetahui niat baik kedatangan kami."