Jantungku berdetak kencang hanya ketika sedang bersamamu saja.
*****
"Maaf Kak, tapi, aku engga bisa untuk memutuskan sendiri. Aku menyerahkan semua keputusan ini pada Ayah dan Ibu," jawabnya pasrah.
"Baik, kalau gitu besok Kakak akan bertemu orangtuamu. Doakan Kakak bisa menyakinkan mereka," ucapku yakin.
Dia terlihat bingung dan menatapku lekat seolah mencari kebohongan disana.
Tak akan ada kebohongan kau temukan di sini.
" Tapi 'kan aku harus kekampus besok Kak. Engga bisa pulang untuk ketemu Ayah dan Ibu, lagian apa ini engga tertalu buru-buru" ujarnya.
Dia masih mencoba mengulur waktu rupanya. Padahal, kalau bisa, besok pun aku siap menikahinya.
"Emang kamu maunya kapan, setahun atau dua tahun lagi, terus kalau bulan depan Kakak udah digoda perempuan lain gimana?" Ucapku datar.
Matanya membesar menatap tajam ke arahku seolah ingin membunuh. Jujur, aku ingin tertawa saat ini. Wanita ini lucu sekali. Tapi aku tahan dan berusaha bersikap cool.
"Kok Kakak gitu sih, belum nikah aja udah ngomong gitu. Gimana kalau udah nikah nanti, belum apa-apa pasti Kakak udah ninggalin aku 'kan. Terus kalau engga niat tanggung jawab kenapa Kakak tega ngehancurin hidup aku," ujarnya terisak.
Padahal aku hanya ingin membuatnya takut dan tidak menunda pernikahan ini lebih lama lagi. "Maaf Sayang, Kakak engga bermaksud menyakitimu. Kakak cuma engga mau kamu menunda pernikahan kita. Engga ada yang bisa gantiin kamu di hatiku. Jantungku berdetak kencang hanya ketika bersamamu saja. Please, jangan nangis lagi ya, Kakak minta maaf," bujukku dengan menggenggam erat tangannya.
Hening, dia tidak menjawab. Duh, gini banget ternyata rasa sakit diabaikan oleh orang yang kita cintai.
"Pokoknya besok Kakak akan ketemu orangtua kamu. Kamu engga perlu ikut pulang, biar Kakak aja yang ke sana,"
Dia menoleh dengan raut wajah kebingungan.
"Emang Kakak tahu rumahku?"
"Menantu macam apa yang engga tahu rumah mertuanya," ujarku sok cuek, ah entahlah.
"Hah, jadi Kakak tahu, gimana bisa, apa Kakak udah pernah ke sana. Apa Kakak mencoba untuk menyakiti atau melakukan macam-macam pada keluargaku,"
Aku merasa seperti habis melakukan kesalahan terbesar dan sedang diintrogasi.
" Kalau nanya satu-satu dong Sayang, lagian suudzon banget sih sama calon suami, dosa tahu,"
"Idih, suami apaan," ujarnya berdecak kesal.
"Suami idaman untuk Intan Syafawani," aku mencoba menggodanya.
"Ih, Kakak nyebelin banget sih. Lagian aku juga terpaksa nerima Kakak, jadi engga usah narsis," ucapnya mengejek.
Kok sakit banget ya.
"Ya engga papa, nanti juga bakalan cinta, apalagi setelah malam pertama kita. Kakak yakin deh, besoknya kamu langsung jatuh cinta," kataku usil.
"Diaamm ...! Kalau engga aku turun nih, dasar om*s," katanya sambil mencubit lenganku.
Mata itu menatap tajam, namun penuh pesona, duh gimana bisa nahan untuk langsung nikahin, kalau gini terus kelakuannya.
Kok aku jadi suka ya, kalau dicubit gini setiap hari. Gemesin banget sih kamu Sayang.
"Iya deh, maaf. Doakan Kakak ya semoga berhasil menyakinkan calon mertua," pintaku memohon.
Dia menoleh, mencari keseriusan di mataku. Kemudian tatapannya berubah jadi iba.
"Aamiin ya Kak, insyaallah aku doain," ujarnya.
Aku semakin bersemangat untuk memperjuangkannya, bahkan jika sampai pada titik tersulit sekalipun. Dia pantas mendapatkan semua itu. Sebab, dia cukup berharga bagiku.
"Maaf ya, jika Kakak memulainya dengan cara yang salah, sungguh Kakak menyesalinya. Andai aja Kakak bisa sedikit lebih bersabar dan berjuang. Kakak tidak perlu menyakitimu," lirihku menyesal.
"Semua sudah berlalu Kak, jujur aku begitu sakit dan kecewa jika membayangkan semua itu. Tapi, walau gimanapun itu sudah terjadi. Allah saja Maha Pengampun, lalu kenapa aku engga bisa mencoba memaafkan Kakak. Bertaubatlah Kak, mohonlah pengampunan pada Allah," ujarnya lembut.
Intan, berbakat sekali kamu buat hatiku berbunga-bunga. Aku semakin yakin tidak pernah salah memilihmu untuk mendampingiku, membawaku keluar dari kegelapan yang selama ini telah cukup lama aku berada didalamnya.