MIMPI SANG RAJA
Fir‘aun sangat gundah. Mimpi yang dia alami beberapa hari yang lalu membuat hatinya tak tenang. Istana yang megah bertakhta emas dan berlian, mahkota yang berhias rangkaian batu safir, jubah kebesaran dari sutra berjahit benang emas, dan segudang kesenangan yang setiap saat dia reguk tak mampu mengembalikan ketenangannya. Mimpi itu sungguh aneh dan baru pertama kali dia alami.
Fir‘aun mondar-mandir di balairung istana. Hari itu dia memerintahkan para ahli nujumnya untuk berkumpul.
“Aku mendapat mimpi yang sangat aneh,” kata Fir‘aun memecahkan keheningan. “Aku undang kalian kemari untuk menafsirkan apakah gerangan arti mimpiku itu.”
“Bermimpi apakah engkau, Tuanku yang mulia?” tanya se-orang ahli nujum.
Fir‘aun mendelik menatap para ahli nujumnya. Kedua alisnya yang tebal dan hitam hampir menyatu membentuk segaris kekhawatiran yang tajam.
“Aku melihat cahaya kuning kemerahan dari arah Baitul Maqdis. Cahaya itu mendekati Mesir. Kemudian, setelah dekat, barulah aku tahu cahaya itu adalah api. Api itu membakar apa saja hingga rakyatku berhamburan ke luar rumah. Seluruh Me-sir berkobar-kobar. Rumah-rumah hancur porak-poranda. Tapi anehnya ....” Fir‘aun kembali mengerutkan kening. Kali ini kerutan dahinya semakin tergambar jelas, “Permukiman Bani Israel sama sekali tak terbakar. Api itu seperti memiliki penglihatan. Rumah-rumah mereka aman tak tersentuh api seolah ada sesuatu yang melingkupinya. Lalu aku mendekat dan bertanya mengapa mereka tak terbakar. Kalian tahu jawaban apa yang aku dengar? Seorang pemuda berbadan kekar berkata kepadaku, ‘Karena kamilah yang akan menghancurkan kekuasaanmu.’ Wahai para ahli nujumku, terangkanlah makna mimpiku itu!” perintah Fir‘aun dengan lantang.
Suasana hening. Tak seorang pun berani bersuara.