Para utusan Fir‘aun baru saja meninggalkan desa. Bekas derap kaki kuda mereka masih menerbangkan debu-debu ke udara. Para wanita masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah lesu. Sebagian masih terlihat pilu di halaman atau di tepi jalan. Suami dan anak laki-laki mereka menjadi sasaran tangkapan Haman dan pasukannya. Tanpa ampun, mereka dipaksa untuk turut ke istana dan dijadikan budak. Pasukan Haman tak segan-segan menghajar dan menyeret mereka yang berusaha meloloskan diri. Para suami tak sempat berpamitan kepada istrinya. Para ibu tak sempat memeluk anak-anak mereka. Yang tersisa hanyalah air mata kepedihan karena perpisahan. Jika pasukan Fir‘aun mengambil orang-orang tercinta mereka, rasanya hanya keajaiban yang mengizinkan mereka bertemu kembali.
Di rumah-rumah yang lain, tangis para ibu menyayat hati. Sakit akibat persalinan belumlah hilang, tetapi buah hati tersayang telah dirampas pasukan Haman. Bayi laki-laki mereka tak berhak untuk menyusu kepada mereka lebih lama lagi. Jemari mereka tak mampu merengkuh dan membelai si buah hati. Betapa hancur hati para wanita malang itu. Repihlah jiwa mereka menjadi abu yang beterbangan di udara. Tak berarti, lalu hilang ditelan embusan angin.
“Duhai, alangkah kejamnya raja kami. Mengapa kami dipisahkan dari orang-orang tercinta kami …,” rintih mereka tanpa arti.
Para wanita hamil yang semestinya berbahagia menantikan kelahiran buah hati, kini menghitung hari dengan perasaan tak menentu. Rasa cemas dan takut bercampur hingga menjelma menjadi linangan air mata. Waktu yang berganti seperti tangantangan kekar para prajurit yang menggiring mereka ke jurang gelap. Jika bayi yang terlahir laki-laki, mau tak mau mereka harus menyerahkan bayi itu kepada pasukan Haman. Mereka tak akan pernah melihat anaknya tumbuh dewasa. Lari? Ke manakah mereka hendak berlari? Suami tak lagi di sisi, kondisi hamil tak memungkinkan mereka menempuh perjalanan jauh. Lagi pula, pasukan Haman berjaga di setiap sudut perbatasan. Mudah sekali mereka tertangkap. Siksaanlah yang kemudian menanti.
Yukabad menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Rasa syukur terucap dari bibirnya atas perlindungan Allah kepadanya hari itu. Sembari memegang perutnya, air matanya berlinang. Dia sedang hamil. Namun, anak buah Haman luput mencatatnya karena Yukabad tidak menampakkan tanda-tanda kehamilan. Kehamilannya kali ini memang berbeda dari yang sebelumnya. Perutnya tidak menonjol terlalu besar. Kendati begitu, tetap saja hatinya ciut. Terbayang di mata jika anaknya laki-laki, apakah yang akan terjadi?
Maryam dan Harun mendekat, lalu memeluk ibunya. Yukabad pun merangkul mereka dan menciumi kening keduanya. Ketiganya larut dalam tangis. Mereka adalah harta kesayangan Yukabad. Beruntung, saat Harun lahir, Fir‘aun tidak membunuhnya lantaran jumlah Bani Israel makin menyusut. Fir‘aun membiarkan bayi laki-laki tetap hidup agar kelak dia memiliki persediaan budak yang memadai. Kaum Qibti tidak sudi melakukan pekerjaan-pekerjaan berat sebagaimana yang mereka berlakukan kepada Bani Israel.
“Hari ini Allah menolong kita lagi, Anak-anakku. Semoga pertolongan-Nya akan terus menyertai keluarga kita,” kata Yukabad.
“Iya, Ibu,” jawab Maryam dan Harun.
“Imran, keluarlah! Mereka sudah pergi,” kata Yukabad setengah berbisik. Dia takut mata-mata Haman masih berkeliaran di sekitar rumah-rumah penduduk.