Kura-Kura Merah

Nuraini Mastura
Chapter #2

Orbit Raka

Duk, duk, duk.

Ketika ujung gagang sapu dibentur-benturkan ke plafon, getarannya menjalar ke seluruh lantai kamar Raka bagai gempa tektonik. Seketika merenggutnya kasar dari alam mimpi. Begitulah alarm setiap pagi yang mengawali rutinitas harinya. Lantai atas mungkin masih pulas terlelap, tetapi lantai bawah sudah ramai dengan kesibukan.

Sambil mengucek-ngucek mata belekannya, Raka bisa membayangkan, Engkongnya saat ini tengah menyapu debu tipis yang bertengger di punggung buku-buku jualannya dengan kemoceng. Ia kemudian akan duduk menikmati secangkir kopi sambil mengerjakan TTS di lembar koran dengan singlet putih dan celana pendeknya. Singlet yang semakin bolong dan lusuh tampak semakin nyaman dikenakannya.

Tidak jauh dari tempat Engkongnya duduk menyeruput kopi, hanya tersekat oleh partisi papan triplek tak jauh dari deretan etalase bukunya, tampak baki-baki alumunium memamerkan kue-kue jajanan pasar warna-warni yang sudah bersolek dengan centilnya. Seorang wanita tua Tionghoa, Nek Celine, sedang sibuk menata kue-kue basah. Lemper, risoles, kelepon, lontong, bolu. Sebagian buatan pihak ketiga, ibu-ibu rumah tangga di sekitar yang punya hobi membuat kue lalu menitipkannya untuk dijual di sana setiap pagi. Sebagian yang lain berasal dari oven dapur belakang Nek Celine sendiri. Kue angku, onde-onde dan bolu nyaris tidak pernah absen dibuatnya. Pekerjaannya dibantu oleh satu orang asistennya, Siska, yang sudah tiga tahun ini setia membantunya di toko. Biasanya bila pelanggan cukup ramai, Nek Celine akan sibuk di dapur belakang, sementara Siska melayani pembeli.

Sudah hampir sepuluh tahun Engkong membeli satu blok gedung di antara deretan ruko usaha di pinggir jalan raya. Lantai atas dikhususkan bagi hunian keluarga, sementara lantai bawah dijadikan ruang toko sepenuhnya.

Saat Raka menuruni tangga sambil menyandang ransel setelah berganti seragam sekolah, terdengar sayup suara radio yang menyiarkan berita RRI.

Gagal panen dikhawatirkan akan meluas akibat terjangan El Nino yang memperparah kondisi musim kemarau di beberapa titik wilayah tanah air....

“Raka berangkat!” pamitnya.

Nek Celine, yang tahu pemuda berseragam putih abu itu selalu melewatkan sarapan, langsung mengalihkan perhatian dari pelanggannya sejenak. Kedua tangan keriputnya dengan cekatan mencomot beberapa potong kue dari nampan, lantas memasukkannya ke dalam bungkusan plastik bening.

“Tunggu dulu.” Ia lantas mengangsurkan sebungkus kue-kue dagangannya sebagai bekal Raka sebelum berangkat sekolah. “Belajar yang pinter di sekolah, Nak.” Demikianlah kalimat doa pengantar yang diulangnya terus bak melepas anak SD, meski Raka sekarang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. 

Dengan langkah cepat, pemuda belia itu meninggalkan blok ruko dengan plang bertuliskan Toko Buku Impor Soewandi dan Aneka Kue di atas pintu. “Aneka Kue” ditambahkan dengan cat tulisan tangan yang agak serampangan. Sebuah gestur yang menunjukkan bahwa blok ruko itu utamanya sebuah toko buku, dan kue-kue yang dijajakan hanya etalase sampingan.

Saat melewati tong sampah beberapa meter jauhnya dari toko, Raka melambatkan langkah sesaat. Tangannya mengendorkan karet yang melingkari plastik bungkusan bekalnya. Dikeluarkannya sepotong kue angku yang baru dibuat Nek Celine subuh tadi. Sambil lalu, dibuangnya ke tumpukan sampah.

***

“Kali Deres, Pluit.”

Raka menjulurkan sebelah tangannya ke depan, hendak menyetop metromini berbadan oranye yang akan membawanya ke sekolah. Metromini itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat hendak melambatkan laju, meski melewati halte dan penumpangnya belum terlalu penuh. Perlahan ia mengambil ancang-ancang. Sembari menepuk badan bus, Raka melompat masuk ke dalam bus dengan gesit bak tarzan kota.

Baru sejenak berada di dalam, pundaknya sudah dicolek-colek oleh kernet yang hendak menagih uang. Cepat-cepat ia merogoh uang cepek di dalam sakunya. Sang kernet menerima uang kertas merah lecek itu sambil kumur-kumur tak jelas. Raka tahu, ongkos seratus perak yang diberlakukan bagi pelajar membuat kernet bus kadang malas mengangkut mereka. Lebih baik mengangkut pekerja ibukota atau ibu rumah tangga meski membawa segembol tentengan pasar. Mereka masih membayar 500 perak. Lumayan. Lagipula, meski ongkosnya sudah murah, tetap saja si kernet kerap kali kecolongan ketika ia kurang gesit menagih, terutama bila para pelajar masuk serombongan dan penumpang bus tengah penuh. Jumlah yang banyak membuat kumpulan pelajar ini semakin berani berlaku kurang ajar. Betapapun jelinya, tetap saja beberapa kali sang kernet dibuat kecele. Ketika menagih seorang pelajar yang berdiri di depan bus, anak itu akan berkata ongkosnya dipegang temannya yang berada di posisi belakang bus. Tetapi begitu sang kernet merayap ke belakang, dengan gerak slow-motion karena mesti menembus lautan penumpang, temannya itu sudah lama turun. Begitu juga pelajar yang ditowel pertama tadi. Apes. Rugi tak seberapa, tetapi kesalnya minta ampun. Karena itulah, rombongan pelajar SMA pria tidak lagi menarik minatnya untuk diangkut. Semua disamaratakan, semua dimasukkan dalam daftar hitamnya. “Bergajul semua. Belajar apa mereka di sekolah? Mending juga gue yang cuma tamatan SD,” rutuknya dalam hati sembari menghitung segepok uang penghasilan pagi itu di tangannya.

Perjalanan Raka menuju sekolah memakan waktu sekitar setengah jam. Pada setopan lampu merah, terlihat dua orang pria bergegas masuk ke dalam bus. Raka mengira mereka pengamen. Tetapi nyatanya mereka hanya menjual cerita sedih demi menarik sumbangan. Salah satu berkoar-koar tentang penyakit yang diderita oleh saudaranya. “Maaf ya, Bapak-Ibu, Saudara-Saudara sekalian, mungkin kalian jijik melihat luka-luka saudara saya.” Saudara di belakangnya yang melangkah dengan kaki terpincang kemudian melepas topinya, sengaja memperlihatkan kulit kepala gelap dan mengelupas bak disiram minyak rem bercampur daki. “Tetapi mohon kiranya bantuan seikhlasnya … Bantu saudara saya untuk berjuang melawan maut dan membeli obat hari ini dengan sumbangan dari Bapak Ibu sekalian ... seikhlasnya saja.”

Tangan pria berkepala plontos itu lalu memegangi pundak si saudaranya sembari bergerak maju di antara deretan bangku penumpang. Pria di depan terus meratapi nasib dengan semangat tinggi sambil menyodorkan bungkusan permen kopiko kosong ke depan muka setiap penumpang. Sebagian besar penumpang tampak memalingkan muka enek, tetapi beberapa tangan tetap menjatuhkan uang koin ke dalam bungkusan permen bekas itu. Mungkin takut terkena azab yang sama seperti pria di depannya. “Terima kasih, semoga keluarga Ibu dan Bapak sehat semua. Terima kasih.” Sekejap kemudian, sama mengagetkan seperti kemunculannya, mereka sudah turun bak siluman ular putih. Raka melihat pria penyakitan yang berjalan sempoyongan tadi sudah berlari-lari lincah menembus kepadatan lalu lintas.

“Sakit apaan lagi tuh tadi? Panu apa kurap?” seloroh sopir pada kernet seraya melirik spion tengah, kedua tangannya memutar kemudi yang lebar. “Tauk. Kemaren ayan… mungkin besok gagu.” Sudah jadi pemandangan mereka sehari-hari. Semakin marak dan ajaib saja kelakuan orang-orang yang menyelinap masuk busnya. Mulai dari pengamen misionaris yang lebih panjang khotbahnya daripada lagunya, pengemis kotak amal, sampai peminta rupa-rupa donasi kemanusiaan seperti dua pria buram barusan.

Sang kernet kembali menepuk pundak Raka. Kali ini menyuruhnya agar mengambil duduk di bangku yang sudah kosong dan tidak berdiri menghalangi jalannya di sisi pintu. Raka pun segera bergeser memasuki deretan kursi plastik bolong-bolong dengan ruang menaruh dengkul yang sempit demi menampung sebanyak-banyaknya penumpang.

Lihat selengkapnya