Pintu terbanting membuka bagai terhempas angin ribut. Siska yang sedang memasukkan kue-kue kering ke dalam toples seketika mendongakkan wajah dari kesibukannya. Raka melangkah masuk sambil menyandang ransel sekolahnya. Wajahnya tampak sangat keruh. Ia segera menghampiri Siska di meja panjangnya.
Karena sudah cukup lama bekerja di ruko itu, Siska sudah cukup tahu karakter seluruh penghuni rumah. Ia mengenali Raka dari sejak bocah itu masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Bila ada yang bisa membaca suasana hati Raka, Siskalah orangnya. Dan sepertinya, kali ini ia bisa menebak alasannya.
“Ci, Raka kan sudah minta Cici aja yang datang ke sekolah untuk mengambil rapor Raka,” ucapnya.
“Iya, maaf, tadi Cici lagi sibuk ngantar-ngantar pesanan sampai lupa jam. Eh pas Cici balik, Nek Celine sudah berangkat.”
Raka menandaskan segelas air dalam beberapa teguk saja. Mungkin dalam upaya mendinginkan emosinya.
“Cici udah janji,” ucap Raka, seakan tidak mau menerima penjelasan apapun.
Mendengar itu, Siska akhirnya memalingkan pandangan dari toples kue di tangannya. Kini menumpahkan seluruh perhatiannya pada pemuda gundah gulana di hadapannya. Raka jelas-jelas ingin menunjukkan kekesalannya. Sementara Siska sendiri enggan jika dibuat merasa bersalah.
“Elo kenapa, sih? Malu kalau teman-teman sampai tahu keluarga lo tuh cina?” ujar Siska, mulai terbajak oleh emosi Raka.
Omongannya datar saja, tapi muatannya setajam silet.
“Ah, Cici nggak akan ngerti.” Dengan kata-kata pamungkas itu, Raka menutup pembicaraan lalu pergi meninggalkannya ke lantai atas dengan langkah bergedubak.
“Ada apa ini?” tanya Engkong dengan nada tinggi. Sedari tadi ia berada di bilik sebelah.
“Nggak ada apa-apa, Engkong,” sahut Siska seraya membuang napas panjang. Perhatiannya berusaha kembali dialihkannya pada toples-toples mungil di hadapannya.
***
Raka kini benar-benar merasa bagai anak durhaka.
Tetapi dia merasa omongannya benar. Siska tidak mengerti. Tak satu pun orang di rumah ini mengerti apa yang selama ini mesti dilalui Raka. Ejekan sudah menjadi santapan sehari-hari sejak dirinya kecil, dan dia sudah muak.
Masih terngiang jelas di benaknya bagaimana anak-anak sepermainan mengejeknya habis-habisan sepulangnya dari belajar mengaji di masjid.
“Jangan mau temenan sama Raka. Dia suka makan babi.”
“Aku nggak makan babi,” sahut Raka dengan cemberut.
“Keluarga kamu kan Cina.”
“Kata ayahku, kamu tuh kulit luarnya aja pribumi, darahnya Cina tulen.”
Saat itu Raka kecil berlari pulang dengan lengan menutupi mata. Dengan sia-sia berusaha menyembunyikan airmatanya yang sudah membanjiri muka.
Tetapi kesedihannya itu seketika berubah menjadi sesal kala melihat Engkongnya mengamuk.
“Anak mana yang mengejekmu? Sebut namanya! Jangan takut! Buat apa takut?”