KURANJI LANTANG

Airin Ahmad
Chapter #1

Sepupu di Kamar Bapak

Kuranji Lantang, bocah SD kelas enam itu berjalan takut-takut mendekati kamar bapaknya, di tangan bocah kurus itu ada ponsel yang berpendar dan mengeluarkan bunyi panggilan. Nama ibunya tertera di sana.

Tangannya menggantung di udara beberapa saat, ia ragu, sebelum akhirnya memberanina diri mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.

“Bapak! Mamak telepon!” 

Sesaat terdengar gaduh dari dalam kamar sebelum Suhaimi, bapak bocah itu membuka separuh pintu dan menelengkan kepalanya keluar, rambutnya masai oleh keringat.

“Apa?” tanya sang Bapak cepat. Matanya melotot penuh intimidasi.

“Mamak telepon,” ujar Lantang sekali lagi, sambil mengangsurkan ponsel di tangannya.

Mata Suhaimi sesaat terbelalak, ia merebut alat komunikasi itu dari tangan anaknya, dan berjalan ke kursi rotan ruang tamu sambil terlebih dahulu membenarkan sarung yang dipakai secara asal.

Lantang beringsut ke belakang, bersembunyi di balik gorden usang yang membatasi dapur dengan ruang depan. Ia menguping pembicaraan bapak dan mamaknya. Lantang tidak berani mendekat apatah melongok ke kamar.

Ngah Hartumi pasti ada di dalam. Kemenakan ibunya itu begitu dekat dengan bapak semenjak dimintai tolong membantu meringkas rumah, memasak, dan mengasuh Lantang beserta adik perempuannya, Kuntum Dahlia. 

Otak kecilnya yang mulai menginjak remaja menyadari ada yang tidak baik-baik saja antara bapak dan kemenakan ibunya .

Lantang pernah memergoki keduanya sedang dimabuk asmara, lalu tamparan keras Suhaimi mendarat di pipi bocah itu.

Telinganya kini tegak, menguping obrolan jarak jauh itu. Meski hanya mendengar pembicaraan searah, Lantang bisa mengambil benang merah, bahwa bapak merayu sang ibu untuk betah bekerja di negeri jiran.

Bocah kecil itu menggigit bibir demi menahan isak, air mata yang dengan suka rela mengembun tiba-tiba di pelupuk matanya.

“Lantang kangen Mamak,” bisiknya lirih.

Sementara, Suhaimi berjalan mondar-mandir di beranda rumah dengan wajah cemas, sambil melirik ke pintu kamar yang kini sepenuhnya terbuka.

Hartumi berjalan pelan sambil mengendap-endap, khawatir ketahuan dua sepupunya. Percuma! Lantang dan Dahlia sudah mencium kebusukan mereka dua meski tidak berani bersuara.

Dari balik korden yang menutupi tubuh kurus tingginya, Lantang berucap hamdalah. Bapak gagal membujuk mamaknya untuk tinggal lebih lama di negeri tetangga.

Perang saudara agaknya bakal tak terelakkan setelah mamak Lantang tiba dari perantauan.

Ia tak lagi peduli saat ekor matanya menangkap tangan bapak melambai ke arah kakak sepupunya itu agar mendekat. Perempuan muda itu terkikik manja dan segera menghampiri laki-laki yang lebih pantas dipanggil Hartumi bapak juga. “T’rengah Suhaimi,” begitu Hartumi memanggil dengan nada menggoda. T’rengah adalah panggilan sapaan untuk paman yang lahir sebagai anak nomor dua.

Lantang menulikan telinga tentang apa yang akan mereka bicarakan. Ia menyelinap keluar melalui pintu dapur yang letaknya di dasar rumah panggung mereka.

Pemuda belia itu berlari kecil di jalan setapak berbatu koral sepanjang depan rumah hingga ke ujung sana, ia mencari Kuntum Dahlia, sang adik permata jiwa.

Lihat selengkapnya