KURANJI LANTANG

Airin Ahmad
Chapter #2

Menangguk Remis

Dalam hati, Lantang berucap syukur ketika masih mendapati beberapa potong singkong rebus di piring yang sepupunya tinggalkan.

Malam ini, masih ada umbi pengganjal perut mereka yang dililit perih. Lalu esok? Lusa? Masihkah alam berbaik hati memberi keduanya sedikit rezeki untuk melanjutkan kehidupan? Ia berharap, semoga Bapak tidak berbohong bahwa Mamak sungguh akan pulang.

Dibawanya singkong dingin itu ke depan bersama segelas air putih yang dingin dan menjejaskan embun pada dinidng gelas.

“Nah, makanlah.” Lantang angsurkan piring itu ke hadapan adiknya.

“Cuma ini, Bang?” Lantang mengangguk dan menatap adiknya iba.

“Besok pagi kita masak. Ya? Sekarang hari masih malam nian.” Dibujuknya sang adik sambil mengelus kepala Dahlia. 

Ia biarkan dua kerat singkong itu tandas tak bersisa, meski perutnya juga meronta-ronta.

**

Pagi menjelang, adik-beradik itu masih termangu di teras rumah panggung mereka. Mata kedua bocah masih tak beralih dari jalan berbatu koral di depan rumah, berharap mamaknya akan segera datang.

Namun, hingga matahari naik sepenggalah dan hawa dingin berangsur menghangat, harapan mereka pupus, laksana embun yang mengering di daun-daun bunga dahlia kesayangan mamaknya yang tumbuh subur di halaman.

“Bang, aku lapar.” Lagi, Dahlia merengek pada abangnya, sementara wajah Lantang menyiratkan kebingungan.

“Mari kita ke dapur, Dik. Kita tanak nasi.”

“Abang Lantang bisa?” Dahlia bertanya ragu dan menatap abangnya, sementara Lantang mengangguk pasti.

“Abang sering bantu Bapak menanak nasi, ingat?”

Mendengar itu, Dahlia mengangguk dan tersenyum semringah.

Keduanya lalu bergegas ke dapur yang dipenuhi jelaga, menuruni undakan berbentuk tangga dari kayu. 

Lantang membuka ember berpenutup tempat biasa Ngah Hartumi menyimpan beras yang dibeli dari balai setiap pekan. Namun, beberapa detik kemudian ia memandang sang adik dengan tatapan putus asa. Tidak ada sebutir beras pun yang tertinggal di sana.

“Dik, tidak ada beras,” ujarnya parau.

“Jadi kita makan apa?”

Mata Dahlia mulai berembun kini, sementara Lantang pun menggeleng tak mengerti.

**

Kedua adik beradik yang malang itu berjalan bersisihan. Di tangan masing-masing membawa ember dan lukah (anyaman rotan yang dipakai untuk menjebak ikan di sungai atau aliran air).

Dahlia meringis, sebab perutnya tak lagi mau diajak kompromi, sedari bangun tadi tenggorokannya hanya menenggak air putih dingin dari dalam teko plastik sisa semalam.

“Ke mana kita, Bang?” 

Lantang tidak menjawab dan hanya berjalan makin bergegas, sementara kaki Dahlia terseret-seret mengikutinya. 

Lihat selengkapnya