Lantang akhirnya memutuskan mengambil langkah kedua. Mencabut singkong peninggalan bapak yang tidak seberapa.
Ia menggali dan mengaduk tanah, mencari umbi yang paling besar dan melepaskan dari pangkal akar. Sebab sadar, bahwa ia tidak akan kuat untuk mencabut batangnya yang besar. Bocah kecil itu hanya mengambil seperlunya, sehingga si umbi berkulit cokelat lebih awet tersimpan di dalam tanah.
Singkong rebus dan tumis remis, sepertinya bukan ide buruk, begitu pikirnya.
Namun, baru saja ia membersihkan calon olahan makan malam, sebuah salam terdengar dari ruang depan.
Maka, sekali lagi ia harus bersabar, meski cacing-cacing dalam perutnya baarangkali sudah berubah menjadi ular besar.
“Siapa, Dik?” Ia bertanya kepada Dahlia yang sibuk menggambar di lantai rumah. Gadis kecil itu menggeleng tak mengerti.
“Tagihan listrik. Tolong titip kasih ke Bapak, ya!”
Seorang laki-laki berseragam berdiri di ambang pintu. Ia lalu mengulurkan selembar kertas biru dan segera berlalu. Tinggal Lantang yang terpaku menatap jumlah yang tertera di situ.
Seratus sebelas ribu. Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu?
Semakin berlipat gemetar badan Lantang, memegang kertas tagihan di tangan.
“Mamak, baleklah,” ucap bibirnya spontan. Air mata kini membanjiri pipinya. Sedangkan Dahlia yang kini berdiri di sebelahnya tertegun tak paham, apa yang Abang Lantang tangiskan.
**
Hari ini Lantang menunggu mamaknya pulang hingga gelap merayap. Ia mengunyah singkong rebus dan remis pelan-pelan bersama adiknya di beranda. Mata keduanya basah dalam isak pelan, berharap datang keajaiban.
Lantang dan Dahlia mangkir mengaji ke surau, kegiatan yang harusnya mereka kerjakan setiap petang. Mendaras kitab dan memperbaiki hapalan.
Namun, hingga larut malam, mamak mereka tetap belum kembali dari perantauan. Perpisahan tiba-tiba menghantam kehidupan kedua bocah itu ketika umur pun belum sampai masanya, saat bapak pergi dengan tega dibutakan cinta. Dua bocah kecil itu kehilangan pegangan dengan cara yang teramat lara.
Takdir apa yang akan mereka jalani setelah ini? Akankah ada pelangi setelah hujan badai mengguyur mereka tanpa kompromi?
Mereka masih terlalu kecil untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.
Lantang baru hendak menutup pintu karena dingin mulai di hantarkan angin bukit seberang danau, sebuah kendaraan roda empat berhenti di depan rumah mereka.
Sebuah mobil umum angkutan desa berwarna hijau muda.
Peristiwa yang tidak biasa. Jalan Desa Pendung buntu di bagian ujung, maka hanya jika ada hal-hal tertentu saja mobil masuk ke desa mereka.
Lantang dan Dahlia kembali keluar dan melongok ke halaman. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas, hingga …
“Assalamualaikum!”
Sebuah suara familiar riang menyapa gendang telinga kedua bocah itu. Mereka spontan saling tatap.
“Ma-mamak?” Mata indah Dahlia membulat.
Seorang perempuan tercepuk-cepuk naik tangga rumah menenteng bawaan di kiri kanan tangannya. Ia keberatan beban agaknya.