KURANJI LANTANG

Airin Ahmad
Chapter #4

Lelaki Bersorban

Orang-orang dalam ruangan bank menjadi panik. Sebagian mengangkat Syafrida dan membaringkannya ke kursi ruang tunggu, sebagian yang lain berusaha menyadarkan mamak dua anak itu.

Ada yang berdoa, ada yang membalurkan minyak angin ke hidung, ada juga yang sibuk mencari kendaraan yang akan membawa Syafrida pulang.

Perlu cukup lama hingga akhirnya perempuan malang itu siuman.

** 

Matahari sudah merangkak tinggi ketika sebuah kendaraan umum sejenis angkot berwarna hijau pupus, berhenti di rumah panggung yang sepi.

Syafrida dituntun turun oleh seorang perempuan yang mengantarnya pulang dari sebuah bank rakyat di pakan.

Ia berjalan tercepuk-cepuk nyaris tanpa tenaga, pandangannya kosong tanpa titik tujuan, sekosong masa depan yang pupus dalam sekejap mata. 

Sia-sia semua yang telah ia usahakan. Senasib dengan sebulir embun yang luruh di ujung daun rumpun dahlia. Meresap ke dalam tanah dan hilang ditelan akar yang menjalar.

Nasib baik, di bank tadi orang-orang sigap membantu, membuatnya tersadar dari pingsan, meski sebagian besar sibuk mengomel, memaki sang suami yang tak tahu diri. Sebagian lagi menasehati dan membesarkan jiwa Syafrida yang seperti mati.

Di bawah anak tangga ia mengucapkan terima kasih dan naik undakan dengan sangat perlahan. Hati perempuan itu panas hingga menjalar ke pelupuk. Meski airmatanya entah kenapa tak lagi keluar.

Ia duduk tercenung di beranda, memandang bunga-bunga dahlia beraneka rupa yang tumbuh dengan indahnya.

Pikirannya menerawang ke masa silam dipicu seorang laki-laki melintas di depan rumahnya, Riswandi. 

Syafrida beringsut di balik pagar beranda, menghindari kontak mata dengan pria yang telah mengambil separuh jiwanya. 

Belasan tahun yang lalu saat sama-sama masih sekolah mereka berjanji untuk saling setia, meski akhirnya Syafrida menyerah dengan takdirnya. Cinta pertamanya yang kandas di ujung jalan.

Syafrida dijodohkan dengan laki-laki lain, ketika ia belum pun lulus dari Madrasah Aliyah tempatnya menimba ilmu. Adat istiadat yang masih kuat dipegang ninik mamak di kampungnya, pantang menolak pinangan jika ada laki-laki muslim datang meminta baik-baik anak gadis mereka. Adat yang membuat ia harus memupus cita dan cinta. 

Ia dinikahkan dengan Suhaimi bersama derai airmata membasahi pipi.

Tak kisah jika pun sang dara belum lulus sekolah, para gadis di Desa Pendung tak punya suara untuk menolak pinangan. Bagi mereka, sekolah hanyalah sebatas menunggu jodoh datang, meski dikawinkan dengan paksa. 

Semakin cantik seorang dara, semakin pendek pula waktu untuk merasakan nikmatnya bangku sekolah. Kecantikan yang serupa kutukan bagi mereka.

Begitu juga yang dialami Syafrida. Ia putus sekolah ketika masih duduk di kelas dua Madrasah Aliyah. Saat itu juga ia putus dari cinta monyetnya. Melintasnya Riswandi membuatnya malu hati dengan keadaan dirinya.

**

Syafrida patah arang dan terpuruk. Berhari-hari sudah ia mengurung diri di kamar. Ia tidak memedulikan anak-anaknya yang rindu akan belaian dan peluk cium setelah terpisah puluhan purnama. 

Dua bocah yang dahulu ia lahirkan bertaruh nyawa. Anak-anak yang ia buai dalam ayunan dengan dendang penuh sayang. Permata hati yang dengan alasan itu pula, dahulu, ia mengeraskan hati untuk memburu ringgit ke negeri jiran. Ia rela merendahkan diri menjadi pembantu pada sebuah keluarga terpandang agar anak-anaknya bisa sekolah dan makan. 

Lihat selengkapnya