Munculnya lelaki rupawan itu, membuat hati Syafrida seperti berada dalam kancah pertempuran kudeta di Pagaruyung tempo dulu, menegangkan.
Rumah yang bersepah-sepah seakan pula menggambarkan suasana hatinya yang gundah. Roman mukanya berubah-ubah. Wajahnya yang sembab bercampur terkejut, tiba-tiba menjelma semringah seperti sekuntum dahlia yang bermekaran setelah hujan.
Ia kembali melompat ke dalam kamar. Laki-laki rupawan itu telah sukses melihat mahkota yang selama ini ia sembumyikan dari siapa pun, kecuali yang pantas melihatnya.
Sementara sang lelaki yang tak kalah terkejut, sesaat ia terpana memandang perempuan rembulan hari ke empat belas yang indah itu, sebelum akhirnya menundukkan pandangan. Ia jengah.
“T’ruwo Riswandi!” Lantang bangkit dan menyalami laki-laki yang masih terpaku di muka pintu. “Kayo masuklah.”
Agak ragu langkah Riswandi memasuki rumah kayu itu. Ia duduk tak nyaman, serupa pengantin sunat yang menahan hajat.
Sementara Syafrida telah pula melangkah keluar, lengkap dengan kerudung menghiasi kepalanya. Ia tertunduk, menyembunyikan wajahnya.
“Apa hal Kayo kemari, Wo?” Syafrida bertanya tanpa basa-basi, sambil mengempaskan pantatnya ke kursi ruang tamu, di depan Riswandi.
Riswandi tergagap. Ia tidak menyangka bahwa Syafrida akan langsung bertanya, tanpa basa-basi sama sekali.
“Apa kabar kau, Da?”
“Macam inilah kami. Buruk nian nasib badan.” Syafrida menjawab sambil menunduk, memilin jarinya dengan gelisah.
Agaknya, kaburnya Suhaimi membawa kemenakan Syafrida itu, telah pula sampai kepada para tetua kampung, sehingga mereka mengamanatkan pada Riswandi untuk bertanya langsung.
Jabatan Riswandi sebagai sekretaris desa, membuat para ninik mamak meminta kesediaan laki-laki itu mencari tahu.
Geger orang tua Hartumi karena kehilangan anak gadisnya dibawa kabur paman sendiri, telah pula menjadi buah bibir di Kampung Pendung yang kecil. Merobek ketentraman warga yang selama ini terbangun.
Posisi rumah Syafrida dan orang tua Hartumi memang bersebelahan, sehingga gadis itu sering bertandang semenjak Syafrida masih di rumah.
Maka, tidak ada seorang pun yang curiga ketika gadis itu sering berkunjung ke sana untuk membantu pamannya, meski Syafrida tidak ada.
Ketika itu, Syafrida dan mamaknya Hartumi sering pula bergosip dari jendela masing-masing, ramai serupa orang di balai.
“Oi, Syafrida!”
“Apa,Wo?”
“Ada kau nyimpan garam?”
“Ada! Marilah ambil sini!”
“Biar kusuruh Hartumi ke sana!”
Saling meminta bumbu dapur atau bertukar sayur, sering Syafrida dan mamak Hartumi lakukan. Masing-masing cukup dengan berteriak dari jendela rumah tinggi mereka. Siapa sangka akhirnya justru menjadi malapetaka. Padahal, tindakan asusila adalah perbuatan yang tidak bisa dimaafkan di kampung yang terkenal siak itu.
Dahulu kala, pernah ada dua orang pandir yang melakukan hal serupa, hingga sang perempuan berbadan dua. Gegerlah kampung kecil yang terkenal dengan sebutan desa siak itu.
Kedua orang yang telah mencoreng nama kampung ditangkap dan disidang di hadapan para tetua. Selanjutnya, mereka diarak keliling dari ujung dusun hingga tepi jalan besar, sebagai hukuman dan sanksi sosial kepada keduanya. Padahal mereka hanya dua orang pandir yang pendek akal saja.