KURANJI LANTANG

Airin Ahmad
Chapter #6

Terserah Engkau Saja

Syafrida tergugu, menikmati sengitnya perang antara setan dan nurani yang berkecamuk di dalam kalbu. Botol berwarna jingga dan nila itu mengabur dari pandangan sebab mata yang dibanjiri air mata.

Oiii Syafrida!” Nino Wahidah terpekik di muka pintu dapur, di bagian belakang atas Mamak Lantang itu. Perempuan muda yang sedang tersesat hatinya terkejut alang kepalang dan menjatuhkan botol berisi kematian dalam genggaman. “Lah hilang akal nian kau ini, hah?!” 

Nino Wahidah berpayah-payah turun dari tangga dapur sambil merepet panjang pendek memarahi Syafrida. Sementara, yang diteriaki menunduk dengan badan menggigil hebat. Hampir saja ia melakukan kebodohan yang akan ia sesali nanti hingga selepas kematian.

Lolonya kau ini, heh! Lah sengsara hidup kau di dunia, nak sengsara pula di akhirat nanti? Pikir panjang oi Syafrida! Istighfar! Sembahyang dulu kau sana! Minta ampun sama Allah!”

Nino Wahidah masih merepet tak berkesudahan sambil merengkuh bahu yang tersengal karena air mata. Tangan keriput itu menepuk-nepuk pundak Mamak Lantang yang luruh tak bertenaga.

“Ampun, Nino. Ampunkan kami,” rintih Syafrida pilu. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan ikut ngilu.

Perempuan mana yang tak akan gelap mata, ketika suaminya terpuruk dan tak berdaya, lalu sang istri tampil untuk menariknya dari lubang nestapa, justru dikhianati dan dirampok sedemikian rupa?

Siapa pula yang tak ingin mengumpat dan hancur hatinya melihat kepiluan Syafrida? Siapa pula yang tak jatuh iba dengan kemalangannya? 

Namun, terkadang setan dan tipu daya melalui wanita memang sedemikian dahsyat dan memperdaya. Godaan yang membuat laki-laki lupa akan fitrah sebagai manusia beragama.

“Istighfar, Da. Istighfar.” Suara Nino Wahidah mulai melunak kini. “Mari, sini. Mari …” Dipeluknya Syafrida erat selayaknya rasa kasih orang tua terhadap anak. Mata perempuan tua itu pun ikut merebak.

Ia ingat betul bagaimana Syafrida dahulu tampil sebagai malaikat, ketika belahan jiwanya dipanggil pulang, sebab jatah di dunia telah habis. Perempuan itulah yang menemani hari-harinya yang kosong karena anak-anak tak bisa pulang. Sebab, mereka pun terikat kontrak kerja di negeri jiran.

Nino Wahidah membiarkan ketika Syafrida menumpahkan kepedihan di bahunya beberapa waktu lamanya. 

Perempuan malang itu lalu berjalan ke perigi setelah sedikit tenang. Iamembasuh wajah dan menyempurnakan wudu. Kemudian, Syafrida naik ke rumah untuk menghadap kepada Sang Pencipta.

Telekung lusuh menutupi badan Syafrida yang luruh ke lantai yang berderak. Ia mengadukan kepedihan yang mengujinya dengan begitu telak.

Diangkatnya tangan tinggi-tingg. Ia berdoa dengan kesungguhan hati, sementara air mata kembali menuruni pipi. Dada Syafrida begitu sebak.

“Duhai Allah! Beberapa hari ini aku mengutuki diri, menyumpahi, meminta kepadaMu menurunkan azab kepada mereka yang menyakiti. Aku protes kepadaMu. Aku meminta ini dan itu. Hampir pula aku hilang akal dan nyaris mengakhiri hidupku. Ampunkan aku ya Allah. Ampunkan aku.”

Syafrida tersungkur dan menangis tersedu-sedu, meluahkan semua yang ia rasa kepada Dia yang Maha Tahu.

“Sekarang terserah Engkau saja ya Allah. Terserah Engkau saja. Aku pasrah!” Tangis Syafrida semakin menyayat kalbu. Telekung dan sajadahnya telah pula basah oleh air mata.

Nino Wahidah yang mengintip dari balik pintu, tak kuasa jua menahan air mata.

Alah iyo … iba nian nasib kau, Da,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia mengamati perempuan malang itu hingga Syafrida selesai dengan penghambaannya. Nino Wahidah khawatir, Syafrida akan kembali gelap mata.

**

Lihat selengkapnya