Mata Syafrida menyala seketika, kemarahan dalam dada yang baru hendak padam kini kembali terpantik bara. Ia mendengkus dan mengeratkan kepalan tangan, sementara Lantang terlihat keheranan.
“Kenapa, Mak? Ada apa?" Ia bertanya heran.
Syafrida menggeleng ringan dan menghela napas panjang.
Tanpa pikir dua kali, ia hapus pesan yang hanya memancing kemarahan dan luka hati. Ia non aktifkan ponsel di tangan, mengeluarkan SIM card dan mematahkannya jadi dua.
Kartu tak bersalah itu telah pula patah berkeping seperti hatinya.
“Bapak kau,” jawab Syafrida enteng di depan anak bujangnya yang bertanya. “Ndak apa-apa kita lupakan Bapak kau sementara ini, ya?”
Lantang mengangguk. Sejak sebelum mamaknya pulang pun, tingkah polah bapak dan sepupunya telah pula membuatnya muak.
Tak elok sebenarnya memupuk kebencian anak terhadap bapaknya, Syafrida tahu itu. Namun, hatinya kini terlalu sakit jika harus memberi celah terhadap sang laki-laki durjana. Laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya.
Syafrida sedang tak ingin berhubungan meski sekadar bercakap-cakap, pun bertanya kabar.
**
Hari berbilang bulan. Kehidupan anak-beranak itu dipelihara Tuhan dalam kesederhanaan. Meski mereka harus banting tulang untuk mencukupi kehidupan, Syafrida dan anak-anaknya tidak pernah kelaparan.
Sejak saat itu, Suhaimi tak terdengar kabar apalagi menampakkan batang hidungnya. Keputusan Syafrida mengganti nomor kontak, membuat lelaki itu tidak pernah lagi bisa menghubungi. Perempuan perkasa itu pun tak lagi peduli. Ia sudah mulai menata hati dan melanjutkan hidupnya yang sederhana. Ia hanya fokus menjadi bahu sandaran untuk Lantang dan Dahlia.
Semua Syafrida kerjakan, seperti yang dahulu Lantang pernah katakan. Ide brilian sang anak bujang itu kini Syafrida realisasikan. Ia menjadi tukang tangguk remis dan menjualnya ke balai-balai, tiga kali dalam sepekan.
Selebihnya, ia berjualan gorengan dan makanan kecil di sekolah Dahlia, sambil mengamati anaknya.
Jika pun ada orang yang meminta tenaganya untuk membantu di sawah, menyiangi padi yang mulai bersemak, membantu memetik kawo, panen kulit manis atau panen padi, semua ia kerjakan tanpa sungkan. Syafrida tanggalkan semua rasa malu asal anak-anaknya bisa makan.
Kecantikannya memudar terbakar matahari. Kulit pualamnya berubah legam, tangannya kasar, dan tumit pun ikut pecah-pecah. Namun, ia tidak peduli.
Syafrida hanya ingin kuat untuk Lantang dan Dahlia.
**
Satu tahun berlalu sudah.
Sang lelaki rupawan Riswandi masih mengamatinya diam-diam. Namun, ia tidak pernah lagi bertanya perihal suaminya dan para tetua adat pun tak lagi ambil pusing, sebab Suhaimi raib entah ke mana.
Hanya mamak dan bapak Hartumi yang bersusah hati. Habis sudah uang mereka demi mencari anak gadisnya.