Lantang buru-buru memeluk sang adik yang terisak. Meski Dahlia tak lagi belia, tetapi bagi bocah itu, Lantang adalah cintanya, laki-laki pengganti bapaknya.
Ditenangkannya sang adik dan memberi pengertian. Kemudian, Lantang pamit keluar menerabas hujan dengan mantel plastik yang tadi pagi lupa ia bawa. Sang bujang pergi mencari mamaknya.
Setiap rumah tetangga ke arah jalan besar ia sisir beriring perasaan yang dilamun khawatir, takut kalau-kalau mamaknya tersapu banjir.
Wajah-wajah dari balik pintu yang ia tanya menggeleng iba, melihat Lantang yang basah dan berwajah pias.
“Marilah masuk dulu, Lantang. Pucat nian wajah kau. Minumlah barang satu gelas teh hangat. Nanti masuk angin pula kau ini.” Seorang tetangga menawarkan. Sementara, tetangga yang lain menawari yang lain pula. Namun, ia menggeleng dan terus berjalan.
Di rumah Ngah Ahmadi, nelayan penombak ikan, ia diminta menunggu. Sebab, Ngah Ahmadi menawarkan diri untuk menemani Lantang mencari mamaknya.
Lantang memang sangat dekat dengan laki-laki baik ini. Beberapa kali pula ia dihadiahi ikan semah tangkapan yang terkadang tidak dijualnya ke balai.
Ngah Ahmadi menombak ikan di malam hari, menggunakan lampu sorot semacam head lamp yang terikat di kepala. Ia menyelam pada kedalaman air dan mengintai ikan buruan. Dengan tombak bermata tiga semacam trisula, ia sigap menujah ikan yang melintas di depannya.
Lantang beberapa kali merengek meminta ikut, tetapi Ngah Ahmadi selalu menghalangi.
“Nanti kalau kau sudah besar. Air danau itu dingin, Bujang! Sekarang sekolah dulu kau elok-elok. Kalau kau sudah jadi orang besar, ndak perlu kau menyelam, tinggal masuk kedai makan sepuasnya kau di sana.” Ngah Ahmadi yang bijak bestari dalam kesederhanaannya, menolak dengan halus permohonan Lantang. Nasehat pula ia sisipkan agar bujang itu tidak kecewa.
Beberapa saat Lantang menunggu di muka pintu, sejenak berikutnya Ngah Ahmadi telah keluar lengkap dengan mantel yang menutupi separuh tubuhnya. Sementara, bagian kaki dibiarkannya terbuka. Laki-laki itu hanya menggulung celana setinggi betis.
“Tapi sebentar. Ada Mamak kau bawa hape?” tanyanya sebelum melangkah.
“Ada, Ngah.”
“Aku telepon dulu bae, ndak? Siapa tahu Mamak kau angkat.”
Ia bergegas masuk lagi ke rumah dan mengambil telepon pintar miliknya.
“Nomor Mamak ada kau ingat?”
Lantang lalu menyebutkan sederet nomor sejumlah dua belas buah dan Ngah Ahmadi segera melakukan panggilan.
Tidak berapa lama sebuah suara terdengar dari seberang. Namun, terdengar seorang laki-laki yang mengangkatnya.
“Siapa ini?” tanyanya terkejut.
“Ini siapa pula?” jawab yang di seberang tak kalah terpekik.
“Ahmadi. Ini nomor Mak Lantang ndak?”
“Iyoo!”
“Alah iyo! Aku kira lah salah nomor pula. Lantang nyari mamaknya, nah. Di mana Mak Lantang kini?”
“Ada beliau di rumah kami. Marilah sini.” Lelaki itu adalah T’ruwo Harmain yang tinggal di tepi jalan besar. Ia mengabarkan bahwa Syafrida pingsan saat mencari anaknya.
“Ayo, Bujang! Mamak kau pingsan.”