Malam belum terlalu larut, tetapi anak beranak itu memilih menyudahi hari dengan beristirahat, karena esok dan esoknya lagi, bagi mereka adalah perjuangan.
Mamak dua anak itu baru hendak memejamkan mata, ketika telinga Syafrida tegak saat mendengar langah kaki perlahan di bawah kolong rumahnya. Suara itu berhenti sesaat dan mendekat ke jendela kamar. Dada perempuan itu berdentam-dentam oleh cemas dan ketakutan.
Maling? Orang berniat jahat? Masih terlalu sore untuk seorang penyamun mencari mangsa .
Ia diam menunggu dan menahan napas, sementara laju jantungnya semakin bertalu, membuat ulu dada terasa ngilu.
Syafrida terlonjak ketika langkah itu berhenti tepat di balik jendela kamar dan mengetuk tiga kali.
“Syafrida.”
Perempuan itu membeku, lidahnya kelu. Ia diam tak menjawab dan menahan napasnya. Sesaat kemudian, suara itu memanggilnya lagi. Kali ini dua kali, sambil mengetuk daun jendela. Ia mencermati itu pasti suara seorang laki-laki, meski tidak yakin siapa pemiliknya.
Takut-takut Syafrida bangkit dan mendekat, mengumpulkan keberanian sebelum menjawab. Ia berdehem sebentar.
“Yo. Siapa di luar? Ada perlu apa, Kayo?” Syafrida menjawab setengah berbisik.
“Kami, Da.”
Kami adalah kata yang sulit dijabarkan, semacam ‘saya’ tetapi tidak menyebutkan identitas dengan jelas, tetapi Syafrida tidak bermaksud bertanya lebih jauh.
“Ada perlu apa Kayo mengendap-endap malam-malam macam ini? Bersusah-payah datang kemari?”
“Maap-maap sebelumnya, Da. Maap nian. Kami nak bertanya kalau kau izinkan.”
Syafrida menimbang beberapa saat. Ini pasti bukan perkara main-main. Jika yang melakukannya adalah dua orang remaja yang sedang jatuh cinta, ia pasti akan mengerti. Datang ke rumah orang dengan cara mengetuk dinding rumah dan ngobrol tanpa membuka jendela, sudah umum dilakukan di kampung ini. Bertandang istilahnya. Tetapi jika yang didatangi adalah perempuan sepertinya, apakah mungkin pelakunya adalah anak muda juga? Tidak mungkin. Suara baritone yang ia dengar adalah suara laki-laki dewasa.
“Tanyalah,” putus Syafrida setelah beberapa lama menjeda.
“Lah lama kau hidup sendiri aku kira. Adakah keinginan atau niat kau untuk berumah tangga lagi?”
Perempuan itu terhenyak. Jantungnya yang sudah mulai tenang kembali berdegup kencang. Ia memang telah dua tahun lebih hidup sendiri, tetapi masa iddahnya baru berakhir sepekan lalu. Ini terlalu tergesa-gesa.
“Maksud Kayo?”
“Kalau lah ada niat dalam hati Syafrida untuk kembali berumah tangga, kami siap untuk menggantikan yang sudah lalu.”
“Maaf nian lah sebelumnya. Kayo ini siapa?” Jantung Syafrida semakin berlompatan.
Syafrida diliput penasaran, jikalau memang ada seseorang yang menaruh hati padanya, janda beranak dua yang sudah pupus mekarnya, kenapa ia tak memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum menyampaikan maksud dan tujuan?
Laki-laki di luar jendela mendadak diam beberapa jeda. Syafrida menunggu dengan segala tanya di hati.
Sang pria berdehem, barangkali untuk mengenyahkan grogi yang menjalari hatinya sendiri.
“Kami malu mau berterus terang, Da. Iya pula kalau Syafrida memang ada niat melepas masa kesendirian dan mau menerima kami sebagai pengganti, jika tidak, biarlah kita tidak canggung jika bertemu kelak.”