Sudah menjelang siang ketika anak-beranak itu tiba di rumah sakit kabupaten. Setelah mendaftar dan ditanyai macam-macam oleh petugas, kini mereka duduk menunggu antrian.
Mereka mendapat giliran ke dua puluh lima menurut petunjuk secarik kertas yang diberikan.
Ruang tunggu riuh oleh bermacam-macam lukisan wajah, suasana pemiliknya yang sedang dilanda sakit atau pengantar yang bermuka cemas lagi muram, mewarnai ruang antrian.
Sakit adalah cara Tuhan memberi kesempatan kepada hamba untuk kembali kepadaNya dan berdoa. Ia rindu sang hamba yang telah jauh melangkah untuk kembali dan meminta kepadaNya, meski terkadang manusia tidak menyadarinya.
“Duduk kau berdua di sini dulu. Mamak serahkan surat-surat ini ke suster itu, yo?”
Lantang mengangguk dan menarik tangan Dahlia ke kursi kosong di sudut. Ia menyuruh Dahlia duduk lalu berdiri di sampingnya.
Sebenarnya, Syafrida keberatan Lantang turut serta dan izin untuk tidak bersekolah hari ini, tetapi lelaki kecil itu sebegitu penasaran dengan penyakit yang dialami Dahlia, sehingga ia berkeras untuk izin ke guru kelas.
Sekian lama menunggu, Dahlia mulai bosan dan berjalan mondar-mandir di antara barisan kursi-kursi. Selanjutnya, ia melepaskan diri dari kerumunan antrian dan berjalan menuju taman depan. Ia asyik mengobrol dengan serangga terbang meski suaranya terbata-bata.
Menunggu memang perkara membosankan, pun bagi orang dewasa, apalagi anak-anak.
Namun tidak ada pilihan, hanya ada satu dokter spesialis anak yang ada di rumah sakit ini. Mau bagaimana lagi? Sebab, jika memilih ke rumah sakit swasta, biayanya akan lebih besar pula.
Matahari sudah nyaris sampai pada titik kulminasi, ketika akhirnya mereka dipanggil petugas berseragam di depan pintu ruang praktik dokter anak.
“Kuntum Dahlia pasien Dokter Haryo!”
Syafrida terjingkat, ia yang mulai terkantuk-kantuk sambil duduk, kelabakan mencari di mana anak gadisnya. Beruntung, Lantang sigap memanggil Dahlia yang masih berpeluh-peluh berkejaran dengan kupu-kupu di bawah terik matahari, menari di antara bunga-bunga yang bermekaran di taman depan rumah sakit.
Sesampai di meja dokter, perempuan itu bingung bagaimana mau menyampaikan apa yang menjadi keluhan. Dahlia sehat, tetapi …
“Anak saya sehat, Pak Dokter. Ndak ada keluhan apa pun. Tapi sudah sebelas tahun umurnya, dia belum cakap membaca dan menulis. Berbicara pun kadang terbata-bata.”
Dokter Haryo memperhatikan setiap ucapa Mamak Lantang dengan saksama. Ia sangat telaten dan menanggapi dengan sabar. Syafrida menceritakan semuanya, termasuk pencapaian Dahlia menyelesaikan hapalan juz tiga puluh dan dua puluh Sembilan dengan baik.
Dokter Haryo banyak bertanya perihal keseharian Dahlia dan kesulitan belajar yang dihadapi gadis kecil itu.
Ia pun bercakap-cakap dengan Dahlia dengan hangat dan lembut. Entah kenapa, Dahlia menjadi sangat penurut dan melakukan apa yang Dokter perintahkan.
“Ibu bawa buku tulis Dahlia?”
Syafrida menggeleng. Ia tidak menyangka bahwa penyakit anaknya berhubungan dengan tulisan Dahlia. Ia pikir, kepala anak gadisnya itu yang akan diperiksa dengan sebuah alat atau semacamnya. Menemukan sesuatu yang bengkok lagi janggal di dalam sana dan memperbaikinya.
Dokter Haryo menyodorkan sebuah halaman kosong notes yang ada di meja.
“Pak Dokter mau Dahlia menulis di sini, mau?” Gadis itu menatap laki-laki berbaju putih itu dengan tatapan ragu.
“Mamak bilang Dahlia hebat, pintar mengaji, pintar menggambar. Pak Dokter mau juga lihat hebatnya tulisan Dahlia. Boleh?”
Dokter dengan pembawaan halus itu menyodorkan sebuah buku cetak dengan tulisan besar-besar ke hadapan Dahlia dan memintanya untuk menyalin. Kemudian, ketiganya terdiam menunggu.
Menjadi pasien terakhir, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan dan diagnosa.