KURANJI LANTANG

Airin Ahmad
Chapter #12

Awan Stratus

Keraguan berkelindan memenuhi ruang kepala Syafrida. Sopankah jika ia bertanya meski rasa penasaran menggelayuti dada.

“Em … Kayo sibuk apa akhir-akhir ini kalau malam hari?” Syafrida nekat bertanya, meski riuh memenuhi ruang hati. Ia eratkan genggaman tangan yang menggandeng sang putri, Dahlia, demi meredakan debarannya sendiri.

“Ndak ada-lah. Bantu-bantu tempat orang sepanggin.” Riswandi menjawab dengan penuh yakin.

“Beberapa malam lalu?” 

“Tiap malam selama satu minggu ini. Kenapa?” Lelaki rupawan, yang minyak wanginya lembut menyapa penciuman Syafrida, balik bertanya didorong penasaran.

“Ndak ada lah. Nanya bae. Kalau Kayo ada pergi ke tempat lain ndak?”

“Ada lah aku di situ sampai jam dua belas malam, ndak pergi ke mana-mana.”

Ia menoleh ke wajah Riswandi dan mencari kesungguhan dalam kata-kata laki-laki itu. Dan ia tidak menemukan keraguan di sana.

Bertanya-tanyalah Syafrida kini dalam hati, siapa kiranya yang mengetuk jendela dan daatang bertandang kepadanya malam itu?

“Ooh. Duluan kami lah kalau macam itu. Ndak enak pula nanti dilihat orang-orang.”

Syafrida berjalan bergegas meninggalkan Riswandi yang ganti penasaran. Kenapa pula perempuan itu bertanya apa yang ia lakukan jika malam?

Apakah ini sebuah simbol bahwa perempuan itu memberinya kesempatan? 

**

Rumah-rumah yang ditunjuk untuk acara sepanggin sudah tumpah ruah oleh seluruh penduduk kampung, laki-laki dan perempuan dipisah di rumah yang berbeda. Tua muda berkumpul penuh bersuka cita. Menikmati nasi ibat dan gulai daging bersama-sama sambil bercakap-cakap dan bercanda.

Bulir nasi telah pula bersepah-sepah di lantai panggung setiap rumah, pun kobokan untuk mencuci tangan telah berubah keruh tanda sudah digunakan.

Di sebalik pintu keluar dekat tangga, seorang laki-laki dewasa memperhatikan Syafrida dengan saksama, nyaris tanpa mengedipkan mata. Ia membawa ambung, sejenis keranjang besar berisi nasi ibat dan gulai yang siap untuk dihidangkan. Ia berdiri tegak di sana, sementara laki-laki yang lain bertugas membagi-bagikan makanan kepada para tamu undangan.

“Kau pandai nian kiranya, ya, Dahlia. Lancar pula setoran juz tiga puluh dan dua puluh Sembilan tuh.”

Seorang nino menyapa Dahlia dan diaminkan oleh mamak-mamak yang lain. Hati Syafrida berbunga, syukurnya terucap berkali-kali dengan bibir terurai senyuman. Digenggamnya kuat rahasia hasil pemeriksaan di rumah sakit dalam hati. Tekadnya kini adalah membuat Dahlia sembuh dan tumbuh menjadi anak normal seperti yang lain, entah bagaimana caranya.

Setiap anak memang dilahirkan istimewa, hanya bagaimana orang dewasa memandang dan melihat potensinya.

“Alhamdulillah.”

Hanya kata itu yang keluar dari bibir Syafrida sebagai jawaban, meski bahagianya tak terkira. Ia yang selama ini berkecil hati karena anak gadisnya dicap sebagai anak lolo, bisa menepis anggapan bahwa anaknya sama dengan anak lain pada umumnya.

Sementara di kamarnya yang sepi, Lantang masih bergelung di balik selimut. Mengusir hawa dingin yang bukan hanya mencandai kulit, tetapi menyelusup jauh ke dalam hatinya.

Ketika mamaknya dan Dahlia pulang dari sepanggin dan membawa jatah nasi ibatnya pun, Lantang tak hendak menyentuh. Bahkan keluar dari biliknya pun ia enggan.

**

“Aku ikut, ya, Mak?” 

Anak bujang itu berkeras untuk kembali ikut ke rumah sakit menemani adiknya berobat. Kali ini, Syafrida menolak kuat-kuat.

“Pergilah ke sekolah, sebentar lagi naik kelas tiga. Jangan pula buat orang yang biayai sekolah kau tu kecewa, Bujang. Percayalah sama Mamak.”

Kali ini, Lantang itu terpaksa mengalah. Ia pergi ke sekolah meski dengan berat hati.

Ia mengayuh sepedanya ke arah hilir, ditingkahi kabut yang turun dari lamping-lamping bukit seberang danau, membuat pipi dan rambutnya sedikit berembun.

**

Lihat selengkapnya