Tangis mewarnai rumah besar mantan mertua Syafrida. Mereka tidak menyangka bekas menantunya itu membuat keputusan nekat tanpa dinyana.
Semua keluarga besar berkumpul, terhubung pula dengan kakak Syafrida di Malaysia melalui panggilan video call.
Namun, keinginan mamak dua anak itu tak bisa dibelokkan lagi meski semua merayu dan berusaha menggagalkan.
Betapapun mereka membujuk untuk membantu meringankan biaya hidup Syafrida dan anak-anaknya, perempuan berhati baja itu menolak tak ingin dikasihani.
Ia simpan pula rapat-rapat diagnosa dokter atas gadis kecilnya yang memiliki kelainan di otaknya.
Tekadnya bulat sudah. Selepas Lantang ujian kenaikan kelas tiga, mereka akan hijrah ke kota.
Dokter Haryo pun telah pula menyatakan kesediaan menampung mereka. Apa mau dikata, mencari asisten rumah tangga tidaklah semudah mulut berbicara. Orang-orang lebih memilih menjadi tenaga kerja ke Malaysia, sehingga tawaran Mamak Lantang untuk membantunya ibarat oase di padang gersang.
“Kalau memang macam itu nian niat kau untuk menjual rumah pusaka peninggalan orang tua kita itu, Dik. Biar Uwo yang talangi biayanya. Asal boleh mencicil setiap bulan. Jangan sampai warisan pusaka itu jatuh ke tangan orang lain.”
Sang kakak yang berada di Malaysia menyanggupi untuk membayar rumah yang diwariskan kepada Syafrida.
Bulat sudah mufakat keluarga. Maka, meski dengan berlinang air mata, akhirnya mereka harus mengikhlaskan Syafrida hengkang dari kampungnya.
“Tapi kami bawa dua orang anak, Pak Dokter.” Ia ingat kembali percakapannya dengan Dokter Haryo tempo hari.
“Berapa kilo beras akan mereka habiskan setiap hari? Ndak usah dipikir, asal Mamak serius mau bekerja membantu istri saya di rumah, semua bukan menjadi masalah besar. Ada satu ruang kosong di belakang yang bisa Mamak pakai untuk istirahat bersama anak-anak.”
Percakapan itulah yang membuat tekad Syafrida bulat. Anak-anaknya tidak akan kelaparan. Uang gajinya bisa buat biaya sekolah dan cicilan rumah bisa dipakai untuk terapi Dahlia.
Sebuah rencana sederhana yang masuk akal. Ia memang harus pandai berhitung agar tidak buntung.
“Tapi kita ndak punya rumah lagi, Mamak? Protes anak bujangnya.
“Atap langit dan lantai bumi adalah rumah kita, Bujang. Sekolah kau elok-elok. Nantik besar kau beli rumah kau sendiri yang bagus. Bagi Mamak, lebih penting adik Dahlia sembuh daripada erat menggenggam harta yang ndak akan kita bawa pulang.”
Demi mendengar perkataan mamaknya, Lantang luluh dan menyetujui untuk hijrah ke kota.
**
Kabar pindahnya sang juara umum dari sekolah mereka, sampai juga ke telinga Zakiyah.
Seharian gadis itu bermuram durja. Ia merasa, semua usahanya mendekati Lantang selama ini sia-sia. Betapapun ia mencoba, Lantang bak gunung es di Antartika yang tak hendak leleh meski sedikit saja.
Hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu di sekolah saat pengambilan raport. Ia belum berani mendekat sebab Lantang datang bersama mamaknya.
Hati Zakiyah ngilu, melihat untuk terakhir kalinya Kuranji Lantang di panggil ke mimbar untuk mendapatkan penghargaan sebagai juara umum.
Tahun ajaran depan, tak akan ada pemandangan itu lagi di sekolah mereka. Sang juara, bujang kurus sederhana pengayuh sepeda, yang tak pernah menginjakkan kaki ke kantin barang sekali saja, akan menghilang dari pandangan mata .
Mata gadis itu berkaca-kaca. Ada perih di dalam hati yang tak bisa dijabarkan.