Uto tambang itu membelah jalanan yang lengang. Hanya satu dua kali mereka berpapasan dengan sesama uto tambang atau kendaraan roda dua. Jika bukan hari balai (pasar) dan sedang musim libur sekolah seperti ini, tak terlalu banyak kendaraan berlalu-lalang.
Anak-beranak itu menuju arah mudik. Mudik yang berarti ke arah barat. Syafrida Lantang, Dahlia terdiam dengan pikiran masing-masing. Lagu kerinci Kato Hati yang diputar berdentam-dentam dengan irama rancak dari audio mobil, justru menambah pedih hati mereka, terkenang kampung yang ditinggalkan.
Pasa Jujun dibusimpang tigo (Pasar Jujun bersimpang tiga)
Burulang mandi lah di Danau Kinci (Mengulang mandilah di Danau Kerinci)
Sayang aeh (Ya sayang)
Burulang mandi lah di Danau Kinci (Mengulang mandilah di Danau Kerinci)
Mulut harimau sanggup lah kurebut (Di mulut harimau saja sanggup aku rebut)
Apo lah agi tangan uhang lain (Apalagi di tangan orang lain)
Sayang aeh (Ya sayang)
Apo lah agi tangan uhang lain (Apa lagi cuma di tangan orang lain)
Mata Lantang menatap jauh ke luar jendela, memandangi padi-padi yang baru di tanam tampak seperti berlarian di depannya. Sebagian sawah sedang digarap dengan tenaga manusia juga traktor sambil menunggu bibit-bibit siap dipindahkan. Sementara Syafrida sesekali masih mengusap bulir air mata yang dengan lancang menuruni pipinya. Betapapun perempuan itu berusaha tegar, hijrah meninggalkan tanah tumpah darah bukan perkara mudah bagi siapa saja. Syair lagu yang ia dengarkan, justru menambah pedih perasaan.
Rumah-rumah panggung yang berdiri di setiap tepi jalan kampung-kampung yang mereka lewati, semakin jauh dari pandangan.
Danau Kerinci, anugerah Tuhan di segenggam tanah Surga, penopang kehidupan mereka selama dua tahun belakangan seakan mengucapkan kata sayonara. Bukit-bukit di seberang danau pun masih berdiri angkuh seperti biasanya.
“Selamat tinggal Pendung,” ucap bujang itu, lirih.
Kendaraan memasuki kota yang berdenyut oleh aroma kehidupan yang sibuk. Sopir mengarahkan setir tetap ke mudik, menuju rumah sakit di mana Syafrida memberikan alamatnya. Barang bawaan mereka yang tidak seberapa, ikut terayun-ayun mengikuti kemana supir menekuk setir kendaraan.
Di persimpangan menuju Kampung Hamparan, uto tambang itu berbelok ke arah kiri, sedikit menanjak menuju perumahan tenaga kesehatan di samping rumah sakit terbesar kota kabupaten, Sungai Penuh.
Rumah bercat putih bersih berjejer rapi dengan bentuk seragam menjadi pemandangan pertama mereka, seakan-akan mengucapkan kalimat selamat datang.
“Rumah yang mana, Mak?” tanya sopir untuk pertama kalinya, setelah sepanjang perjalanan mereka hanya saling berdiam seribu bahasa.
“Nomor B2,” jawab Syafridan sambil kembali mengecek alamat di ponsel yang diberikan Dokter Haryo beberapa waktu yang lalu.
Setelah perjalan perlahan sambil melongok ke kiri dan ke kanan, mobil berhenti di deretan rumah yang lebih besar di bagian dalam.
Nomor yang ditunjuk Syafrida menempel pada dinding pagar hitam dengan tulisan timbul berwarna keemasan.
Lantang dan mamaknya turun terlebih dahulu, memencet bel dan berdiri kaku, diikuti Dahlia di belakang mereka.
Seorang perempuan paruh baya berlari tergopoh dan membukakan pintu. Apakah ia istri Dokter Haryo? Sepertinya bukan. Wajah dan penampilannya khas penduduk setempat. Perempuan sederhana nan bersahaja itu mempersilahkan mereka masuk.