Allah itu baik dan sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Begitulah yang Syafrida dan anak-anaknya rasakan kini.
Syafrida sungguh tidak menyangka, diterima dengan sangat baik oleh keluarga ini.
Bu Sinta, perempuan lembut dan cantik itu sedang asyik menggambar bersama Dahlia. Tawa yang datang dari ruang tamu membuat hati Syarida menghangat. Syukurnya tak terkira. Bu Sinta dengan senang hati mengajari dan menstimulasi kemampuan membaca dan menulis anaknya.
Baru beberapa hari bertemu, Dahlia sudah mau membuka diri dan akrab dengan majian mamaknya.
**
“Allah tidak mengizinkan saya memiliki keturunan. Rahim saya terpaksa diangkat karena terjadi robekan saat hamil tujuh bulan.” Mata Bu Sinta menerawang saat bercerita. Suatu siang ketika mereka sedang bersantai di beranda belakang.
“Apa sebab, Bu?” Syafrida mendengarkan dengan empati menjalari nurani. Tangan perempuan itu lembut memijat tungkai kaki majikannya yang layu dengan minyak repah agar terasa hangat.
“Saya kecelakaan. Kendaraan yang saya tupangi selip karena pecah ban dan menabrak trotoar. Perut saya terhantam entah apa. Bayi kami tidak dapat diselamatkan. Saya perdarahan hebat dan koma satu minggu. Seperti ini akhirnya.” Mata Bu Sinta berkaca-kaca, memandang kakinya sendiri yang tak berdaya.
Syafrida tertunduk masih dengan menggerakkan jemari, menekan-nekan kaki Bu Sinta. Mata perempuan beranak dua itu semakin terbuka, bahwa setiap hamba diuji dengan takaran dan jatahnya masing-masing.
Dihelanya napas perlahan, ada beban yang sedikit-sedikit mulai terangkat dari palung hati Syafrida. Rasa sakit yang dua tahun belakangan setia memenuhi dan membuat sebak perasaan perempuan itu. Betapapun ia mencoba ikhlas, tetapi ternyata memang sangat tidak mudah. Dikhianati dan dihancurkan oleh laki-laki yang paling ia percaya.
“Kehadiran Lantang dan Dahlia mewarnai hari-hari saya. Terima kasih. Mereka anak-anak yang manis. Kayo hebat sudah mendidik mereka menjadi anak-anak yang santun dan cerdas.” Bu Sinta menatap sang pembantu dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Matanya berkaca-kaca.
Kepala Syafrida terangguk-angguk. Ada haru yang mengaduk-aduk perasaannya secara luar biasa. Allah menggantikan ia yang tercerabut pergi dengan sesuatu yang lebih istimewa. Keluarga baru, rumah baru, juga ibu dan bapak baru bagi Lantang dan Dahlia.
Hampir satu bulan mereka di sana dan perkembangan Dahlia pun begitu menggembirakan. Kata-kata mulai lancar keluar dari bibirnya. Ia menjadi lebih bersemangat dan percaya diri. Lingkungan mendukung dengan sangat baik. Di sini ia dicintai dan dihargai sebagaimana layaknya. Bukan bermain sendiri di pematang atau aliran air bersama kepiting-kepiting kecil kegemaran sang gadis kecil. Di tepat ini, tidak ada lagi tawa ejekan dan perundungan yang membuat gadis itu terasing dan rendah diri.
Di rumah ini Dahlia ibarat sekuntum bunga yang tumbuh mekar dengan siraman kasih sayang dan perhatian. Dahlia yang dibanggakan oleh orang-orang sekitarnya.
Sebuah simbiosis mutualisme yang indah. Dengan campur tangan Tuhan, tidak ada yang mustahil terjadi. Ia yang Maha Adil. Ia yang menempatkan semua sesuai porsinya. Sesuai kebutuhan hamba-Nya.
“Dahlia pandai menggambar dan membuat pola baju. Cantik-cantik. Darimana ia belajar?”
Suatu hari, Bu Sinta bertanya sebab penasaran.
Syafrida menggeleng. Ia pun tak paham. Dahlia memang suka sekali mencontoh model-model pakaian dari majalah mode yang entah dari mana ia dapatkan. Sudah kumal dan lusuh pun majalah itu, tetap dibolak-baliknya mencari yang baru, begitu Syafrida memberi informasi.
Ibu dua anak itu undur diri dan kembali membawa yang ia maksudkan. Majalah lama yang serupa kitab berharga bagi Dahlia. Barang satu itu tak boleh tertinggal dan harus dibawa serta saat mereka pindah.
Diangsurkannya majalah itu kepada sang majikan.