Kurma

Faiz el Faza
Chapter #1

Gadis itu Bernama Kurma

Ceklek!

Bunyi kunci lokerku terbuka. Tanganku meraba-raba untuk mengambil kitab yang akan dikaji sore ini. Tanganku kemudian menabrak sebungkus kurma yang berada di dalam loker. Niatanku teralih untuk memakan buah itu sebutir saja. Aku akan mengambil sebutir buah yang dulu sangat kubenci, namun saat ini sangat aku sukai.

Mulutku menganga dan tanganku sudah bergerak dengan menjumput sebutir kurma. Tiba-tiba, tanganku berhenti. Mataku kini menatap buah itu lamat-lamat. Aku sedang teringat seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada dalam perasaan, pikiran, dan anganku. Aku merasa kalau sekarang aku sedang jatuh cinta. Entah sejak kapan rasa ini tiba-tiba ada. Mungkin saja sejak saat itu. Saat aku melihatnya untuk pertama kali. Saat aku terkejut mengetahui namanya yang begitu unik sekaligus indah. Aku tidak hanya jatuh cinta pada pandangan pertama, namun juga jatuh cinta dengan namanya. Dia adalah tetangga depan rumah. Namanya sangat indah dan tidak biasa. Namanya Kurma. Aku sempat tak percaya kalau ada seorang gadis yang bernama Kurma. Tapi, namanya memang benar-benar Kurma. Dia manis sekali. Saking manisnya, buah yang memiliki rasa manis menggigit ini menjadi tawar karena kalah manis dengan wajahnya.

 

Dua minggu yang lalu ... 

Jarak dan rindu. Aku tidak percaya kalau kekuatan rindu dipengaruhi oleh jarak. Bagiku, kekuatan rindu dipengaruhi oleh interval waktu. Semakin lama tidak bertemu, rindu akan semakin menggebu-gebu.

Seperti aku contoh nyatanya. Hari ini, 2010, adalah kepulanganku dari pesantren ke rumah yang jaraknya cuma satu kilometer. Antara pesantren dan rumahku tentu masih terhitung satu desa. Teman-temanku dijemput orangtua menggunakan mobil atau motor, aku pulang jalan kaki. Rindukah aku pada rumah walaupun jarak antara pesantren dan rumah hanya sedekat itu? Tentu saja. Walaupun rumahku dekat dengan pesantren, nyatanya aku pulang hanya dua tahun sekali. Pertama, saat liburan sekolah seperti kepulanganku hari ini. Kedua, saat libur Ramadan.

 “Assalamualaikum,” sapaku pada Buyah dan Umi seraya salim pada mereka.

“Wah, anakku pulang!” sambut Umi kepadaku yang sudah berbulan-bulan lamanya tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini.

Suara langkah kaki yang berlari terdengar berasal dari ruang tengah dan semakin nyaring. Suara langkah kaki telanjang itu adalah suara kaki adikku, Tamyiz. Anak pesantren sepertiku, tidak akan mengerti bagaimana saudaranya tumbuh. Terakhir kali aku meninggalkannya ke pesantren, dia masih tiga tahun. Sekarang, dia sudah berusia enam tahun. Sudah lumayan tinggi badannya. Dia juga gemuk. Dia langsung menarik bajuku dan berkata, “Kak Ghoza, lama sekali nggak pernah pulang.”

Aku pun menggendongnya. Tubuhnya yang telah tumbuh besar membuatku ingin segera menurunkannya. Tapi, aku tetap ingin menggendongnya selagi masih bisa. Beberapa bulan lagi saat aku pulang seperti ini, mungkin aku sudah tidak bisa menggendongnya seperti saat ini.

Ketika aku diseret masuk ke ruang tengah oleh Tamyiz, sebuah foto besar yang berisi gambar aku dan keluargaku seketika menarik ingatanku ke ruang nostalgia. Aku ingat sekali kapan foto itu diambil. Saat itu aku masih berumur sembilan tahun dan Tamyiz berumur satu tahun.

Sembilan tahun berada di rumah, sejak aku masih bayi sampai berusia sembilan tahun, aku hanya hidup bersama dengan ayah dan ibuku yang kupanggil Buyah dan Umi. Sebenarnya, aku tak pernah kesepian karena di rumah Umi adalah seorang guru TPQ. Umi yang merupakan seorang hafizah atau penghafal Alquran perempuan, dipercaya oleh warga desa untuk mengajari anak-anak di desa ini belajar membaca Alquran tepat setelah menikah dengan Buyah, begitu cerita Umi padaku pada suatu saat.

Setiap sore, di rumah selalu ramai oleh anak-anak yang mengaji. Karena yang mengajar penuh TPQ Ghoza adalah Umi, seluruh muridnya adalah anak perempuan. Tentu saja tidak ada aturan kalau guru ngaji Alquran perempuan, maka muridnya harus perempuan. Ini terjadi karena anak laki-laki di desaku sudah mengaji di TPQ Al-Muqorrobin yang diasuh oleh Ustad Maknun. Di TPQ beliau, sebenarnya juga tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa beliau hanya menerima murid laki-laki. Hanya saja, setiap tahun murid laki-lakinya lebih banyak ketimbang perempuan. Saat Umi menikah dengan Buyah, di TPQ-nya Ustad Maknun tinggal anak laki-laki saja sampai saat ini.

Murid-murid di TPQ-nya Umi berusia campuran. Mulai dari yang berusia enam tahun sampai lima belas tahun. Beberapa murid Umi yang senior memang sering mengasuhku ketika kecil. Tapi, tetap saja aku merasa sepi. Murid-murid Umi seperti Mbak Vita dan Mbak Vera, mengaji hanya di sore hari saja. Selain pada jam sore, mereka tidak ke rumah. Mereka-mereka hanya menemaniku di jam-jam itu saat Umi mengajar. Aku selalu diajak oleh Umi untuk menemaninya ketika mengajar. Mbak Vita dan Mbak Vera selalu memangkuku, membelikan aku jajan, bahkan membelikan aku mainan.

Saat melihat temanku yang merupakan tetangga sebelah rumah punya adik, ada rasa iri dalam diriku saat itu. Aku tidak tahu ihwal akan kelahiran seorang anak, memprotes Umi dan Buyah, dengan berkata, “Umi-Umi, mengapa dia bisa punya punya adik sedangkan aku tidak? Mengapa Mbak Vita bisa punya adik Mbak Vera?”

Umi dan Buyah hanya tertawa terpingkal-pingkal atas pertanyaanku.

Di lain waktu, aku merangsek ke tengah-tengah antara Umi dan Buyah yang sedang berduaan menatap foto pernikahan mereka. Aku bertanya, “Buyah, Umi, kenapa aku tidak ada di foto ini?”

Buyah menjawab, “Kamu belum lahir, Nak.”

“Kenapa aku belum lahir?”

“Kan, kami baru menikah.”

Aku bingung saat itu untuk bertanya apalagi. Yang jelas suara tawa Umi membuyarkan segala macam kebingunganku. Ia menggendong dan menciumiku.

Saat masuk bulan Puasa, aku mendapati Umi makan di jam sembilan. Aku kaget. “Umi nggak puasa?”

“Enggak, Nak. Umi kalah sama kamu yang kuat puasa zuhur.”

“Makanya Umi jadi semakin gendut!” ledekku sambil menunjuk perutnya.

Buyah yang mendengar ledekanku, terdengar tertawa terpingkal-pingkal.

Besoknya juga begitu. Aku memergoki Umi memakan tiga butir kurma dan segelas susu di pagi hari. “Loh, Umi nggak puasa lagi?” protesku.

“Enggak, Nak.”

“Umi, makin gendut loh.”

Saat zuhur tiba, aku makan dengan lahapnya. Seketika itu, aku langsung habis dua piring. “Hmm, enaknya bisa berbuka saat zuhur tiba,” ucap Umi yang menemaniku makan.

Selesai makan, aku tiduran di pangkuan Umi. Aku merasa nyaman sekali. Seperti bantal yang habis dijemur, begitulah yang aku rasa pada pahanya Umi. Badannya kurasakan semakin hari semakin gendut dari hari ke hari. Ketika aku duduk di pangkuannya saat itu, kepala belakangku menempel perutnya yang buncit. Saat itu aku merasa ada yang aneh.

“Umi makan apa?” tanyaku, bingung.

“Kenapa, Nak?”

“Mengapa perut Umi bergerak-gerak.”

“Umi makan cumi-cumi hidup, Nak.”

“Benarkah?”

“Iya, makannya dia masih bergerak-gerak di perut Umi.”

“Umi jahat sekali. Kasihan cumi-cuminya.”

Umi hanya tertawa saat itu. Mataku mulai mengantuk. Aku masih bisa mendengar bahwa di perut Umi, masih terdengar suara-suara cumi-cumi hidup yang terjebak di dalamnya.

Idul Fitri akan tiba. Bagiku, saat itu adalah momen penyambutan Idul Fitri yang paling tidak mengenakkan. Seringnya, setiap Idul Fitri akan tiba dalam beberapa hari, Buyah dan Umi akan membawaku ke pusat perbelanjaan untuk sama-sama mencari baju baru. Rumahku akan kedatangan Mbah Kung dan Mbah Buk untuk ikut membantu menyiapkan jajanan Idul Fitri. Namun, pada momen Idul Fitri itu, tidak ada apapun.

Buyah dan Umi berada di rumah saja. Berhari-hari, Umi selalu terbaring di atas tempat tidur. Setiap kali wudu, Buyah-lah yang membasuh atau mengusap Umi. Umi pun salat di atas tempat tidur dengan diimami Buyah. Aku sedih setiap melihat Umi terbaring lemah setiap hari.

Idul Fitri pun tiba. Buyah menjadi imam di masjid dekat rumah. Aku salat di Idul Fitri di sana. Umi tidak salat hari itu. Ia hanya duduk di ruang tengah untuk menanti kami pulang dari masjid.

Pada momen-momen Hari Raya Idul Fitri, aku serta Umi dan Buyah selalu bersilaturahmi ke kerabat dan tetangga. Tetapi, pada momen Idul Fitri saat itu tidak ada sama sekali. Kerabat dan tetanggalah yang ke rumah. Saat Pak Lek, Bu Lek, Pak Lek, dan Bu Lek ke rumah, kulihat mereka tampak menguatkan Umi, bisa kupahami seperti itu. Tapi, aku tak tahu mereka sebenarnya sedang membicarakan apa. Yang kutahu, Umi yang semakin gemuk seharusnya semakin sehat karena badannya segar, eh malah lemah dan tidur terus setiap hari. Kondisi Umi semakin melemah setiap harinya. Bahkan, aku sudah jarang berbicara lagi dengannya.

Kira-kira, dua minggu setelahnya, saat aku pulang dari sekolah, ada Mbah Kung dan Mbah Buk di rumah. Kukira itu hanyalah kunjungan biasa. Ternyata, mereka memberikan kabar yang luar biasa.

“Mbah Kung, Umi ke mana?” tanyaku saat keluar dari kamar Umi.

“Umi di rumah sakit, Nak.”

Mendengar kata “rumah sakit”, aku langsung menunduk lesu.

“Nak,” kata Mbah Buk, “kamu sebentar lagi akan punya adik laki-laki.”

“Adik!” seruku, tak percaya.

“Iya, ibumu ke rumah sakit untuk melahirkan adikmu.”

“Jadi, bukan cumi-cumi yang ada di perut Umi? Tapi, seorang adik?”

Mbah Kung dan Mbah Buk langsung menatapku bengong karena bingung. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak.

Buyah dan Umi kemudian pulang. Aku melihat Umi sedang membopong seorang bayi. Dia langsung memperlihatkannya kepadaku. “Kak Ghoza,” sapanya.

Baru kali ini Umi memanggilku “Kak Ghoza”. Ada rasa tak biasa di hatiku saat mendengarnya, campuran antara bahagia dan penasaran.

“Ini adikmu, Adik Tamyiz,” tutup Umi sambil mendekatkan wajah lucu, kecil, imut, berkulit kemerahan.

Lihat selengkapnya