“Za, ngapain kamu, ayo lekas berangkat!” seru ustadku yang memergokiku menatap sebutir kurma sambil melamun di depan loker.
“Oh, iya Ustad,” jawabku sambil mengangguk.
Saat pelajaran pesantren sedang berlangsung, aku masih terbayang-bayang akan Kurma. Aku teringat kalau pada sore-sore kemarin saat berada di rumah, aku akan mengamati Kurma keluar dari rumah supaya bisa melihat wajahnya. Sekarang aku harus mengamati kitab yang serba kuning. Ya namanya saja kitab kuning. Aku merasa susah sekali beradaptasi. Padahal, aku sudah berada di pesantren ini selama bertahun-tahun. Karena hati yang terapung, segala sesuatu menjadi tidak berimbang dan berat sebelah.
Aku pun melamun sampai ustadku membentakku, “Hai, Ghoza, kamu melamun apa!?”
Dia melanjutkan, “Ghoza, memang berat meninggalkan rumah. Tapi, kamu harus merelakan semuanya.”
Aku mengangguk mengiyakan. Dikiranya aku sedang merindukan rumah. Padahal, tidak. Aku sedang merindukan Kurma.
Suatu ketika saat berada di sekolah SMA-ku, aku datang kepagian. Biasanya, aku lebih sering datang telat sampai dijuluki si Raja Telat saat MTs dulu. Untuk kali ini, aku ingin merubah kebiasaanku sekali-kali. Apalagi aku sudah masuk SMA. Aku pun mampir ke belakang sekolah untuk menikmati jalan raya pagi. Sekolah SMA-ku areanya berada di tepi jalan raya. Area pesantrennya yang berada di dalam, agak jauh dari jalan raya.
Tiba-tiba, ada seorang bapak-bapak yang membonceng seorang gadis berbaju SMP serba putih dengan pelan. Mataku menangkap bahwa aku tampak mengenali gadis yang dibonceng itu. Dia dibonceng menyamping. Posisinya menghadap ke arah sekolahku.
Apakah aku tidak salah lihat? Apakah Kurma? Iya benar, dia Kurma! iya benar, dia Kurma! Saat itulah aku tahu bahwa aku masih tetap bisa melihat Kurma meski berada di pesanten. Aku harus datang kepagian setiap hari.
Kurma, manismu selalu datang tiba-tiba.
Hanya sesaat saja aku melihat wajah Kurma. Namun, “sekilas saja” sudah itu sudah cukup membuat perasaanku berbunga-bunga.
Sejak saat itu, setiap pagi aku selalu datang kepagian ke sekolah. Datang kepagian ke sekolah adalah hobi baruku saat ini. Lalu, aku akan berdiri di belakang sekolah, menaruh tangan di atas pagar beton setinggi satu meter, dan menghadap jalan raya. Setiap pagi aku bisa melihat keberangkatan Kurma. Ah, senangnya.
Kehadiran Kurma memang hanya sekilas, tetapi aku tidak mau melewatkan kehadirannya walau hanya sekilas. Seperti waktu yang mustajabah untuk berdoa, walaupun kehadirannya hanya sekilas, aku tak pernah ingin melewatkannya begitu saja.
Setiap pagi, aku selalu menantikan keberangkatan Kurma yang dibonceng Pak Thalib. Meski pun hanya beberapa detik saja, meski kadang malah harus terhalangi oleh bus-bus yang lewat, aku tetap menantikannya. Satu hari saja tak melihatnya rasanya hambar sekali hariku. Hari yang kumaksud adalah hari Ahad. Ya, pada hari itu sekolahku libur.
Dulu, aku sangat menyukai hari libur. Sekarang, aku membencinya. Kurma memang membolak-balikkan hati.
Beberapa hambatan untuk datang kepagian satu per satu aku takhlukkan. Setiap pagi, aku harus mengantre mengambil sarapan di dapur pesantren. Kalau pagi, antreannya bisa sampai tujuh meter. Mirip seperti napi. Tetapi, ini napi di penjara suci, begitu kata pujangga. Jadi, aku kadang memilih untuk tidak sarapan untuk bisa melihat Kurma. Resikonya, di kelas aku sering mengantuk karena lapar. Ya, tapi itulah ganjaran dari sebuah perjuangan. Maju terus pantang mundur.
Tidak hanya antre sarapan, aku juga harus antre mandi. Kadang, aku malah memilih untuk tidak mandi demi bisa melihat Kurma. Tapi kalau tidak mandi, resiko mengantuk di kelas semakin menjadi-jadi. Oleh karena itulah aku sekolah sambil membawa peralatan mandi. Aku pun mandi di sekolah. Berat sekali perjuangan untuk bisa melihatnya. Tapi tak apa. Setiap kali bisa melihat wajahnya, semua lelahku terbayar dengan stempel lunas.
Beberapa kali aku mendapati kamar mandi di sekolah tidak masih terkunci ketika pagi. Cak Eko, si OB, kadang datang terlambat atau lupa membuka gembok pintu kamar mandi. Mulai saat itu aku sudah tidak pernah lagi mandi di sekolah.
Aku punya alternatif lain sekarang. Aku mandi di subuh hari sebelum pengajian Tafsir Jalalain. Selesai mengaji tafsir Jalalain di masjid, aku langsung cepat-cepat kerja bakti pagi. Cepat-cepat ganti seragam. Cepat-cepat ke dapur sebelum ada antrean. Aku selalu nomor satu dalam mengambil sarapan sekarang. Aku tidak mewadahi sarapanku dalam sebuah piring seperti sebelum-sebelumnya. Kini, aku mewadahinya dalam sebuah wadah yang ada tutupnya dan menjadikannya bekal seperti anak TK. “Ghoza, kamu bawa bekal ke sekolah, dasar mental TK,” begitu ledek seorang teman padaku.
Biarlah dunia meledekku seperti apa, cinta membuatku merasa bodo amat.
Pagi ini aku sudah bersiap untuk pergi ke dapur. Teman-temanku masih bersenda gurau di depan kamar. Ada pula yang masih tidur padahal ketika mengaji tafsir juga tidur sambil duduk.
Ketika sampai dapur, Cak Giman mulai curiga. Dia bertanya padaku, “Ada tugas apa, Za? Kok setiap pagi cepat-cepat ke sekolah.”
“Biasalah, anak rajin.”
“Palingan mau ngambil surat dari bawah meja,” ujarnya seraya menatakan nasi dan lauk untukku.
Ketika aku menutup wadah makananku, ia berkelakar, “Baru kali ini ada anak yang ngambil makanan ditaruh di wadah seperti itu. Kamu mau ngapain sih, mau kemah pramuka?”
“Cak Giman, waktu adalah pedang. Kalau aku tidak memanfaatkan waktuku, maka aku akan dilukainya.”
“Emang waktu bisa melukai?”
“Iya dong.”
“Masak?”
“Cak Giman sekarang umur berapa kok nggak nikah-nikah. Awas loh, waktu bisa melukaimu.”
Cak Giman yang awalnya meledekku sembari tertawa, seketika mengheningkan cipta. Tatapan matanya menyayu..
“Ya udah Cak Giman, aku berangkat dulu. Jangan lupa nikah,” tutupku.
“Bocah edan!” pekiknya ketika aku berlari sambil menjulurkan lidah padanya.
Ketika aku berangkat teman-temanku seketika meneriakiku. “Woy, ambil surat anak putri ya!”
Tetapi, aku tidak menggubris karena kenyataannya memang aku tidak mengambil surat dari bawah meja seperti yang biasa dilakukan santri di pesantren ini: mengambil surat santri putri di kolong meja. Sekolahku homogen. Sekolah santri putra dan putri dipisah jamnya. Santri putra pagi hari dan santri putri di siang hari. Santri putra dan santri putri bertukar surat dengan media kolong meja. Sebuah surat yang dikirim oleh santri putri akan dilihat oleh santri putra pada keesokan harinya. Jadi, tidak ada perkataan dalam seperti sudah makan atau belum.
Aku memperhatikan jam tanganku. Sekarang pukul enam lebih sepuluh. Berarti kurang lima menit lagi. Aku menghitung setiap hari, menyelidiki dengan cermat, dan mengkalkulasinya. Rata-rata, Kurma akan muncul di jam enam lebih lima belas menit.
Aku menghitung mundur, “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua satu.”
Dan Kurma akhirnya muncul tepat waktu. Untuk hari ini, hitungan mundurku tepat. Biasanya tidak tepat. Tetapi, aku tepat-tepatkan. Seperti kemarin ketika dalam hitungan mundur ternyata Kurma tak muncul-muncul. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga ... setengah, tiga seperempat, tiga, dua ... setengah, dua seperempat, dua, satu setengah, satu seperempat, satu seperempat versi mini, satu seperempat versi jumbo, satu sepermpat versi double jumbo, satu!”
Kurma lalu muncul.
Bagiku, Kurma selalu tepat waktu. Hanya saja waktu itu relatif. Begitulah aku memaknai semua ini.
Pagi ini setelah Kurma muncul, aku masih berada di belakang sekolah. Aku melihat jamku sekali lagi. Sekarang waktunya sarapan di kelas. Saat aku akan berbalik badan, aku kaget bukan kepalang. Di sampingku ternyata ada seseorang yang sama-sama memandang ke arah jalan raya.
“Eh!” kataku, kaget.
“Kamu lihat gadis tadi, ‘kan?” tanyanya.
Dia adalah Latif, sahabatku. Aku dan dia sebenarnya tidak terlalu dekat. Pergaulannya di pesantren hanya berkutat pada anak-anak qiroat seperti Mas Lutifi, Sulton, Burhan, dan Radea. Keempat anak yang kusebutkan tadi juga merupakan muazin pesantren.
“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku.
Dia tertawa tanpa melihatku. “Sejak kamu menghitung mundur, aku sudah di belakangmu dan menanti apa yang sedang kamu cari.”