Setiap malam sehabis Isya, kegiatan di Pesantren Rihlatus Salam adalah kegiatan belajar. Dalam waktu ini, santri bebas mau belajar apapun. Mau belajar pelajaran sekolah atau pesantren, diperbolehkan. Tidak ada guru atau ustad yang mengontrol.
Setiap hari Selasa dan Rabu, aku selalu belajar membaca kitab kuning atau yang lebih akrab diistilahkan sebagai mutolaah. Aku tidak sendirian. Aku dimentori oleh seniorku, Mas Faris. Bagiku, Mas Faris adalah teladanku. Selain karena memang pintar atau alim dalam ilmu agama, dia juga pria yang salih. Di usianya yang masih delapan belas tahun, Mas Faris sudah menghafalkan ratusan hadis. Sedangkan aku, Hadis Arbain saja masih belum hafal.
Karena aku sering menghabiskan waktu dengan Latif, kini dia mengikuti jejakku untuk mutolaah bersama Mas Faris. Malam ini, kami bertiga duduk berhadap-hadapan. Sama-sama membuka kitab. Mas Faris yang menyimak bacaan kitab kami, Ianatut Tholibin, sebuah kitab fiqih.
“Bismillahi, utawi sekabehane puji. Iku lillahi tetep kaduwe Allah taala. Arrohmani kang welas asih. Arrohimi kang welas asih ing dalam akhirat beloko,” ucapku, memulai mutolaah malam ini.
Selesai mutolaah, Mas Faris mengomentariku, “Ghoza, mengapa malam ini kamu banyak salahnya?”
“Maaf Mas, beberapa hari ini aku jarang baca kitab.”
Mas Faris kemudian menatapku sambil geleng-geleng kepala. Aku menengok ke arah Latif sejenak. Senyumnya Mas Faris tampak mengandung misteri. “Kamu kenapa?” tanyanya kepadaku.
“Nggak apa-apa, Mas.”
“Ghoza, ayolah. Kita sudah kenal lama. Aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik wajamu yang seperti ini.”
“Nggak ada apa-apa kok. Sumpah deh.”
“Jangan bohong. Mana mungkin anak kelas satu SMA yang bisa mengalahkan anak-anak Ma’had Aly saat debat bahtsul masail bisa baca kitab I’anah meloncati satu baris lafad?”
Aku melongo. Aku baru sadar bahwa aku memang meloncati satu baris lafad. Secara reflek, aku menggaruk-garuk kepalaku. “Hehehe, lalai akunya, Mas” ungkapku padanya.
“Ayo cerita-cerita. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa kok?”
Latif yang kesal karena aku terus saja mengelak, akhirnya bersuara. “Anu Mas, Ghoza ini sedang kasmaran.”
Wajah Mas Faris tampak kaget. “Kasmaran?” ulangnya seakan tak percaya.
“Iya, Mas.”
“Enggak kok!” sanggahku.
“Cerita-cerita!” pinta Mas Faris.
Aku diam dan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri untuk menghindari tatapannya. Aku takut salah. Walaupun hanya seorang mentor, aku menganggapnya sebagai guruku. Menceritakan perihal asmara kepadanya, bagiku adalah hal yang tabuh.
Mas Faris sampai menepuk lenganku beberapa kali sambil memintaku untuk bercerita. “Kalau kamu nggak mau cerita, ya biarlah aku mendengar kisahmu dari Latif,” ancamnya.
Aduh, bisa gawat kalau Latif yang bercerita. Pasti dia akan berkata kalau aku sudah memasuki zona edan. Aku menyerah. Aku pun menceritakan tentang Kurma yang rasa manisnya tidak mampu dirasakan oleh lidah, tetapi hati.
Mas Faris kemudian memberiku nasihat. “Ghoza, kalau lagi belajar agama di pesantren, jangan mikir yang terlalu jauh. Fokus saja pada pendidikan agamamu dulu. Nanti, kalau kamu sudah alim, dia pasti juga leleh dengan sendirinya. Bukankah setiap wanita butuh imam yang baik?”
Aku tersenyum kecut. “Bukan itu Mas masalahnya,” tepisku. “Walaupun toh aku menjadi orang alim, dia yang merupakan tetanggaku, maka bagaimana bisa aku mendapatkannya. Tidak mungkin dalam budaya desaku. Pernikahan harus dilangsungkan di rumah kedua belah pihak, mempelai putra dan mempelai putri. Kalau tetanggan, bagaimana jadinya coba?”
“Ya, semua ada jalannya, Za. Tenang saja. Ketika kamu memikirkan agamamu, maka Allah akan memikirkan yang tidak sempat kamu pikirkan, seperti perihal jodoh. Kamu masih muda, Za. Masa ini adalah masa emasmu. Nanti kalau sudah boyong dari pesantren, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mutolaah seperti ini. Apalagi, kehidupan percintaan rumah tangga tidak semudah yang dibayangkan. Seorang santri boleh saja mengeluh dalam masalah memahami nahwu. Tetapi, jangan terus-terusan mengeluh karena wanita lebih sulit dimengerti daripada nahwu.”
***
Di pesantrenku, setiap malam Jumat tidak ada mengaji atau pun jam belajar. Setiap malam Jumat agendanya adalah latihan ceramah. Pada pagi harinya, akan diadakan undian. Nama-nama yang muncul, pada malamnya harus tampil untuk berceramah.
Ada yang unik dengan malam Jumat saat ini. Dari empat nama yang terpilih, ada nama temanku yang sangat-sangat polos. Namanya Mahrus. Dia terpilih sebagai penceramah terakhir. Setiap anak yang akan maju, akan menyiapkan teks ceramah untuk dihafalkan. Tetapi, tidak bagi Mahrus. Dia tidak menghafalkan teks sama sekali sebab ketika terpilih, dia langsung memprotes bahwa dia tidak mau tampil.
Saat ketiga penceramah sudah maju, nama Mahrus tetap dipanggil oleh MC. Dia bersembunyi di belakang punggungku dan mencengkram erat lenganku. Dia menyembunyikan wajahnya yang malu-malu. Beberapa teman memanggil namanya supaya lekas maju. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala karena tidak mau.
Ada dua anak yang mendatangi Mahrus dan memintanya tampil. Karena Mahrus bersikukuh tidak mau, akhirnya dua anak itu memegangi kedua lengannya. Dia berontak. Bagaimanapun tubuhnya kalah besar oleh dua anak yang memeganginya. Dia kemudian diseret dari tempatnya duduk sampai beberapa meter ke depan. Tidak hanya itu. Ketika sampai di depan, dia juga didudukkan di kursi ceramah atau mimbar. Kopyahnya yang miring dibenarkan oleh yang menyeret. Sebuah pengeras suara digenggamkan ke tangannya. Kini, dia sedang menghadapi puluhan teman-temannya yang menantinya untuk berbicara.
Berkali-kali dia menjauhkan pengeras suara dari mulutnya ketika akan berbicara. Lalu, tertawa di depan sambil menunduk malu. Tingkahnya itu membuat aku dan yang lain merasa geli akan sifatnya yang sangat polos dan pemalu.
“Assalamualaikum,” sapanya sambil menutupi mukanya dengan tangan kiri. “Nama saya Mahrus, biasa dipanggil Mahrus coy.”
Suaranya yang kecil dan tipis, ucapannya yang absurd, membuat kami semakin geli mendengarnya.
“Teman-teman, hadirin yang saya hormati, jangan sampai masuk neraka ya,” ucapnya.
Tawa kami pun pecah mendengarnya.
“Kira-kira, itu saja yang bisa saya sampaikan, mohon maaf apabila ada salah ucap salah sikap, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” tutupnya.
Teriakan-teriakan terdengar. “Lanjut! Lanjut!”
Mahrus memaksa turun dari mimbar. Ketika dia duduk kembali, dia dipaksa naik lagi dengan diseret ke mimbar. Wajahnya yang kelihatan merana, membuatku kasihan sekaligus terpingkal-pingkal.
Ketika dia mendekatkan pengeras suara ke mulutnya, suasana menjadi hening karena dia lama sekali tidak berbicara. Dia hanya mendekatkan pengeras suara ke mulutnya dan tidak ngapa-ngapain. Suasana makin hening karena kami penasaran tentang apa yang akan dia ucapkan.