Pada sore ini, tanpa terasa bulan Ramadan akan genap 27 hari. Dan gambarku akan Kurma masih belum juga selesai. Masih ada saja yang salah. Aku sebenarnya sudah mengeluh dalam melukis wajah Kurma. Rasanya tangaku keram. Mataku kadang terasa remang-remang. Yang membuatku kuat selain karena kesungguhan hati adalah karena setiap kali aku membuka lembar baru untuk melukis, ada kenikmatan tersendiri ketika melihat wajah Kurma meskipun hanya melalui sebuah foto.
Ponselku kudengar berdering. Nama Abdul Latif tertera di layar. “Assalamualaikum,” sapanya di telepon.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
“Wah-wah! Benar-benar nggak ada kabar. Ke mana saja?”
“Ya di rumah aja.”
“Wah-wah-wah! Gimana kabar si Kurma?”
“Baik.”
“Kalau kabar pengagumnya?”
“Baik juga. Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah. Lagi ngapain ini?”
“Ngelukis.”
“Ngelukis kurma? Gimana-gimana. Kirim gambar hasilnya!”
“Jangan, jelek.”
“Kalau gitu kirim fotonya. Aku penasaran seperti apa sih Kurma sehingga membuatmu sampai sebegitu terpesonanya.”
“Nggak, ah. Aku nggak akan membiarkan incaranku diketahui teman. Selalu terjadi teman makan teman.”
“Ya enggaklah. Kirim fotonya. Aku penasaran banget.”
“ENGGAK! Titik!”
“Ya udah. Kalau gitu kirim hasil gambarmu!”
“Jelek.”
“Ya kalau sudah selesai, sudah bagus, kirim gambarnya.”
“Kayaknya nggak akan selesai, susah. Andai aku diberi bakat kayak Mahrus.”
“Lo, lo, lo! Udah nyerah? Katanya pantang menyerah. Katanya suatu saat kalau sudah dekat sama si dia ingin memberikan hadiah lukisan wajahnya. Masak mau nyerah. Ya udah, aku mau membaca Quran dulu. Nanti malam Nuzul Quran. Siapa tahu dapat Lailatul Qodar.”
Setelah sama-sama menguluk salam, Latif memutuskan telepon. Ketika aku mulai untuk melukis lagi, ada notifikasi. Latif memberikanku sebuah file musik. Ketika kuputar, sebuah lagu milik Letto berjudul “Cinta Bersabarlah”, terdengar.
Walau sehari kutak berhenti
Untuk mencari bunga hati
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya