Mendekati akhir tahun kelas sepuluh SMA, aku sudah jarang bisa belajar kitab dengan dimentori Mas Faris. Mas Faris sedang sibuk latihan pelajaran-pelajaran UN. Standar UN dengan nilai rata 5,3 membuat Mas Faris dan angkatannya menghabiskan hari-harinya untuk menghabiskan buku-buku penunjang UN. Mengerjakan puluhan soal dari buku penunjang UN pada mata pelajaran eksak, pelajaran Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, serta pelajaran jurusan.
Alhasil, aku hanya belajar kitab bersama dengan Latif. Kalau belajar dengan Latif, aku tidak bisa bertanya-tanya kalau bacaanku ada yang salah. Terlebih, karena Latif mempunya suara emas dalam melantunkan ayah suci Alquran, dia lebih banyak membawa Alquran saat jam belajar untuk latihan nada-nada qiroah, tilawah, dan qiroah sab’ah.
Malam ini, saat aku membaca kitab kuning, aku melihat Latif membaca juz 30 atau juz amma dengan menutup Alquran. “Kamu hafalan?” tanyaku.
Karena kutanyai, dia merasa terusik. Dia kemudian berhenti melantunkan Alquran surat At-Taqwir. “Ganggu aja, aku jadi lupa terusan ayat tadi apa,” jawabnya, ketus.
“Ya, kan, aku tanya.”
“Ya, tunggu aku selesai baca dong.”
“Ya maaf.”
“Iya, aku sedang hafalan. Aku mulai sekarang akan setoran hafalan ke Syekh Fauzi.”
Syekh Fauzi, aku tahu beliau. Beliau merupakan warga Mesir asli yang sedang tugasan ke lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia melalui Program Kementrian Agama. Ada banyak selain beliau yang bertugas di Indonesia. Setiap tiga tahun sekali, ada ratusan syekh dari Mesir yang ditugaskan ke pesantren-pesantren di Indonesia. Untuk tahun ini, pesantrenku didatangi oleh Syekh Fauzi, Syekh Hamada, dan Syekh Hamadtuh.
“Mengapa kamu setoran hafalan Quran ke beliau?” tanyaku, penasaran.
“Ya, setoran hafalan Quran ke seseorang yang berasal dari Timur Tengah, mungkin banyak pengalaman yang akan kugali. Ya semua ini juga berkatmu. Karena kamu dekat dengan Mas Faris, akhirnya aku aku mengenalnya. Mas Faris-lah yang merekomendasikan aku untuk setoran ke beliau.”
“Oh iya, Mas Faris memang bertugas menjadi abdi di tempat tinggal ketiga syekh tersebut. Aku kok nggak kepikiran.”
“Bagaimana kamu kepikiran, wong yang kamu pikir cuma Kurma seorang.”
Begini kalau mengobrol dengan Latif. Ujung dari pembicaraanku dengannya, selalu berakhir di Kurma. “Latif, kalau aku menemanimu ke Syekh Fauzi bagaimana?”
“Mau ngapain, setoran Quran?”
“Enggak, mau belajar bahasa Arab. Ini penting karena cita-cita Kiai, santrinya bisa berbahasa Arab, ‘kan?”
“Bagaimana kalau kamu juga mulai menghafalkan Alquran?”
“Kayaknya enggak dulu. Kalau mau hafalan Alquran, seharusnya aku berada di pesantren tahfizul Quran, bukan di pesantren salafiah.”
“Berada di pesantren salafiah bukan berarti tidak bisa menghafal Alquran loh.”
“Oke, lah kamu sudah hafal Imriti belum?”
Latif tertawa dan memukulku. “Kamu ini, dibilangin malah ngoreksi kekurangan.”
“Ya itu, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.”
“Za, setidaknya perbaiki bacaan Alquranmu. Jangan sampai anak lulusan pesantren, mengimami salat di masjid tanpa nada tilawah.”
Aku terdiam. Perkataan Latif barusan ada benarnya. Aku teringat Buyah kalau menjadi imam di masjid, selalu menggunakan nada tilawah. Bacaan Alquran Buyah juga hampir mirip dengan Latif, nada Alquran yang dibawakan oleh Syeikh Abdurrahman As-Sudais, seorang imam Masjidil Haram, Makkah.
Aku tidak sengaja menjatuhkan sebuah lembaran yang berisi lukisan Kurma. Latif segera merespon. “Yahahahah, ketahuan!” serunya.
Aku segera memasukkan lembaran itu ke kitabku. Kulihat matanya memandangku dengan penuh misteri. Aku tahu kalau dia akan mengolok-olokku. “Gimana baca kitabnya mau konsentrasi kalau yang dibawa gambarnya Kurma,” ujarnya.
Aku pun jujur. “Tapi sampai saat ini, aku dan dia juga belum berkenalan. Aku tidak pernah bercakap-cakap dengannya.”
“Gini harusnya. Ketika liburan pesantren, kamu pulang, langsung ke rumahnya, minta nomornya.”
“Kamu kira aku senekat itu. Iya kalau dia juga suka padaku. Kalau tidak nantinya dia menolak pastinya akan terjadi kecanggungan di antara kami yang bertetangga. Kalau nggak bertetangga gitu mungkin saranmu masih bisa kuterima. Tapi dia tetanggaku.” Aku menatap ke arah kosong. “Bagaimana ya, supaya dia bisa mengenalku? Maksudnya, semuanya terjadi secara alami.”
“Za, jodohmu adalah cerminan dirimu.”
“Silakan kalau mau percaya kata pepatah.”
“Pepatah gundulmu! Ini yang bilang Alquran.”
“Alquran!” Aku terkejut. “Aku baru tahu kalau itu merupakan perkataan Alquran.” Mulutku berkata demikian. Tetapi, saat ini hatiku sedang beristighfar karena menginsafi khilaf.
Latif melanjutkan perkataannya. “Begini saja. Sekarang kamu fokus memperbaiki dirimu. Kalau kamu meyakini Kurma adalah orang baik, maka kamu harus menjadi orang baik juga. Kalau dia sudah menjadi cerminan jodohmu, maka jalannya nanti juga akan dibukakan.”
“Bagaimana caranya?”