Pagi ini, aku menantikan kehadiran Kurma seperti biasa dengan membawa Juz Amma, sebuah kitab yang berisikan surat-surat dalam juz 30 dalam Alquran. Sambil menanti keberangkatan Kurma, aku menghafalkan surat-surat di Juz Amma. Untuk bekal tiga juz Alquran ke Kairo, aku akan mulai menghafalkan tiga juz, dimulai dari juz 30, 28, dan 27. Setelah Kurma, lewat, mataku langsung menunaikan tugasnya. Akhir-akhir ini aku sering berandai-andai. Andai saja Kurma tahu bahwa perjuanganku adalah karenanya, mungkin dia akan menyemangatiku. Tapi tak apa. Dia tahu atau tidak tahu, sesuai dengan pesan Latif, jalanilah semua kebaikan karena Allah SWT
Di siang harinya, aku berkunjung ke kediaman Trio Syekh Mesir, begitu warga pesantren menjuluki mereka bertiga, untuk pertama kali. Kediaman Trio Syekh Mesir berada di selatan pesantren. Tidak jauh. Aku cukup berjalan kaki dari kamar melewati belakang masjid, melewati rumah Kiai, keluar dari sebuah gerbang kecil, dan sampailah di kediam beliau-beliau.
Aku tidak begitu mengetahui karakter-karakter dari ketiga ulama Mesir tersebut. Saat sampai di depan rumah, di situ ada Syekh Fauzi yang sedang duduk-duduk menikmati kopi. Aku dan Latif menyalami beliau. Tradisi salim ataupun salam-salaman bagi beliau mungkin agak canggung. Gelagak beliau cukup kaku ketika aku menyaliminya.
Dengan menggunakan bahasa Arab, beliau langsung menyuruhku untuk membersihkan kediamannya. Aku dan Latif bertanya-tanya, saling mengobrol sendiri, mempertanyakan mengapa kami langsung disuruh-suruh seperti ini. Kami mencuci piring, menyapu, mengepel, membuang sampah. Selama kami mengobrol, beliau tentu tidak tahu apa yang kami bicarakan. Hanya saja beliau berkata bahwa kalau lagi bekerja jangan banyak omong.
Aku mendengar suara tiga orang yang sedang berbicara sekarang. Pastinya itu merupakan Syekh Hamada dan Syekh Hamadtuh yang baru datang.
“Assalamualaikum wahai saudaraku,” sapa Syekh Hamadtuh dalam Arab kepada kami.
“Waalaikumsalam wahai Syekh,” jawab kami dalam Arab.
“Siapa namamu?” tanya beliau dalam Arab.
“Saya Latif, dan ini Ghoza,” jawab Latif dalam Arab.
“Kalian temannya Faris?” tanya beliau dalam Arab.
“Ya, kami adalah temannya,” jawabku dalam Arab.
Beliau langsung kembali menemui Syekh Fauzi dan menerangkan kalau kami bukan pembantu di rumah ini. Beliau mengatakan kepada Syekh Fauzi bahwa kami adalah sahabat dari Faris yang dulunya gemar belajar bahasa Arab dari mereka. Aku dan Latif pun tertawa mendengarnya. Inilah yang menyebabkan kami dari tadi disuruh ini dan itu oleh Syekh Fauzi.
“Latif, Ghoza, silakan kemari dan duduk bersama kami!” kata Syekh Fauzi dalam Arab.
Syekh Fauzi, Syekh Hamadtuh, dan Syekh Hamada, kemudian berbincang-bincang dengan kami di ruang tengah. Kami pun menuturkan bahwa kami ingin berkunjung setiap siang untuk belajar bahasa Arab dan setoran hafalan Alquran.
Ketika kami pergi, Syekh Hamadtuh dengan hormatnya mengantarkan kami sampai di halaman kediaman beliau. Beliau juga mendoakan kami agar kami dilimpahi keberkahan. Dari pertemuan hari ini aku bisa menyimpulkan bahwa ketika guru kami tersebut punya kepribadian yang berbeda-beda. Syekh Fauzi berperangai kasar, apalagi ditambah kumis tebalnya. Syekh Hamadtuh sangat humble, kalau berbicara sering sekali tersenyum. Dan Syekh Hamada adalah seorang pendiam yang ahli menjalakan kesunnahan.
Besok siang, kami berkunjung ke kediaman Trio Syekh Mesir. “Barokallah, barokallah,” doa Syekh Hamada kepada kami saat kami menyaliminya di ruang tamu.
Syekh Fauzi dan Syekh Hamadtuh sedang memasak rupanya sambil berbincang-bincang. Yang membuatku geleng-geleng dengan budaya berbicara bangsa Arab adalah gaya bicaranya yang keras atau menggunakan volume besar. Kalau aku mendekat ke arah mereka, bisa-bisa gendang telingaku berdengung karena cumpleng. Apalagi Syekh Fauzi. Beliau seperti tidak bisa menurunkan volume suaranya.
Kami berdiri menunggu mereka selesai memasak. Kami memperhatikan Syekh Hamada yang duduk dengan tenang di kursi sambil membaca Alquran. Ketika aku mendengarkan suaranya mengaji, rasanya aku seperti mendengarkan suara kaset yang sangat merdu.
“Latif, Ghoza, silakan bergabung,” ujar Syekh Hamada dalam Arab, menyuruh kami mendekat ke arah Syekh Fauzi.
“Masak apa sih beliau ini?” tanyaku kepada Latif menggunakan Indonesia. Syekh Fauzi dan Syekh Hamadtuh tak akan mengerti atas apa yang aku tanyakan.
Latif hanya geleng-geleng kepala. Raut mukanya sama sepertiku, penasaran. Syekh Fauzi menggoreng beras tanpa minyak. Ia menggoreng beras, bukan nasi. Aku kira beliau sedang mencoba membuat makanan khas Indonesia. Eh tahunya yang digoreng adalah beras. Setelah nasinya berubah warna kecoklatan dan harumnya merebak memenuhi ruangan, beliau baru menanaknya. Begini ya cara mereka dalam menikmati nasi. Ribet.
“Latif, coba tanyakan yang harum-harum ini apa,” pintaku kepada Latif dalam Indonesia.
“Apa bahasa Arab-nya harum-harum?” Latif malah bertanya balik dalam Indonesia.
Keterbatasan kami dalam mengetahui kosa kata bahasa Arab membuat kami hanya berdiri memandang mereka berdua beraktivitas. Setelah kami saling berdialog barusan, dalam Arab, Syekh Fauzi membentak, “Berbincang-bincanglah dalam bahasa Arab. Jangan menggunakan Indonesia. Bahasa Arab, bahasa surga.”
Kami mengangguk dan berkata dalam Arab, “Ya, Syekh.”
Kami berpindah dan mulai duduk dekat Syekh Hamada. Wangi minyak Ja’faron tercium ketika kami duduk di dekat beliau. Kami membaca Surat An-Nas sampai Surat Abasa. Beliau banyak memuji Latif karena bacaan dan makhraj-nya yang bagus dalam membaca Alquran. Sedangkan untukku, beliau hanya berkata dalam Arab, “Barokah Allah untukmu, wahai anakku. Semoga kecintaanmu pada Alquran memberimu syafaat.”
Setiap kali aku membaca surat dalam Alquran, aku selalu teringat pada masa-masaku menantikan Kurma setiap pagi. Kehadiran Kurma dalam pikiranku selalu memberi energi, semangat, dan motivasi.
Besoknya, Syekh Hamada tidak ada di kediaman. Hanya ada Syekh Fauzi dan Syekh Hamadtuh. Kali ini, aku dan Latif setoran hafalan Alquran ke Syekh Fauzi. Tampaknya, Syekh Fauzi adalah yang paling tua dan paling disegani oleh Syekh Hamadtuh dan Syekh Hamada. Ketika aku meminta Syekh Hamadtuh untuk menyimak hafalanku, beliau menyuruhku untuk menghadap Syekh Fauzi. Pikiranku mulai tidak enak.
Benar saja dengan pikiranku barusan. Setiap kali ada bacaan yang salah, atau ada ayat yang terlupa, Syekh Fauzi akan menegurku. Tidak hanya itu. Bahkan beliau mencengkram bajuku, tepatnya di pundakku. “Salah!” bentaknya dalam Arab.
Semakin aku dibentak, hafalanku semakin tidak lancar. Dalam Juz Amma, surat Al-Fajr adalah yang paling susah kuhafalkan. Sudah halafalannya terasa susah. Setorannya harus ke Syekh Fauzi. Mati aku. Kalau Latif, lancar-lancar saja ketika setoran ke Syekh Fauzi.
Saat ini aku dan beliau berada di dudukan jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sebuah sungai. Karena beliau tampak muak sekali dengan bacaan Alquranku, muak dengan aku yang lupa terus dengan sambungan ayat, muak dengan nada bacaanku yang datar, mungkin juga muak dengan wajahku, beliau kini menarik kerah bajuku dan mendorong tubuhku miring ke sungai. “Kalau kamu salah lagi Wahai Perugi, kamu akan kuceburkan ke sungai!” bentaknya dalam Arab.