Kurma

Faiz el Faza
Chapter #7

Yang Mengaji Kurma, Yang Poyang-Paying Hati

Liburan, 2011

Kemarin, adalah setoran terakhirku kepada Syekh Fauzi sebelum liburan tiba. Aku sudah menyelesaikan hafalan juz 30 dan separuh dari juz 29. Karena rumahku dengan pesantren cukup dekat, Trio Syekh Mesir mengatakan kepadaku bahwa mereka berencana akan ke rumah kalau tidak ada halangan.

Terik matahari menerpaku yang sedang membawa tas punggung berisi penuh. Aku memakai baju model safari warna putih. Terdapat tulisan kecil “Rihlatus Salam” berwarna hijau di atas saku bajuku. Itu adalah almamater pondok pesantrenku. Setiap pulang, semua santri diharuskan memakai baju itu sebagai identitas.

Dalam perjalanan, aku bertemu dengan seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada pada doa-doaku, Kurma. Kurma memakai seragam putih abu-abu tanpa sepatu. Dia memakai sendal. Aku tidak tahu dia akan ke mana. Rupanya dia baru pulang sekolah. Dia melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1 yang bersebelahan dengan SMP-nya dulu. Aku pasti tahu akan dia sebab aku masih setia menantinya di pagi hari ketika dia berangkat sekolah. Aku sangat bersyukur dia melanjutkan ke SMA Negeri 1. Artinya, aku masih bisa melihat wajahnya ketika dia berangkat sekolah.

Saat aku makan siang, Umi bertanya, “Nak, apa kamu capek?”

“Ada apa, Umi?” tanyaku balik.

“Sore nanti aku mau kamu membantu Umi mengajar.”

Buyah keluar dari kamar. “Jangan dulu Umi, besok saja, dia baru pulang. Tadi malam ada acara di pesantrennya yang berakhir sampai malam. Dia pasti ngantuk.”

“Tidak apa-apa, Buyah. Masih kuat kok.”

Aku istirahat sambil menunggu waktu sore tiba. Tidak ada niatan untuk menengok ke jendela. Kurma tadi pergi. Pun tidak ada niatan untuk menunggunya. Benar kata Buyah. Acara malam tadi di pesantren memang membuatku lelah sebenarnya. Tadi malam adalah semacam perayaan sebelum pulangan. Panggung besar, suara yang menggelegar, tampilan-tampilan yang memukau, membuat aku dan kawan-kawan terjaga sampai jam 12 malam. Kalau aku mau jujur, aku ingin tidur lelap sekarang.

Baru saja aku ketiduran, azan asar membangunkanku. Aku segera duduk dan pergi ke kamar mandi untuk wudu. Kukira rasa mengantuk ini akan hilang bersamaan dengan basuhan air wudu. Ternyata tidak sama sekali.

Setelah salat berjamaah dengan Buyah dan Umi serta Tamyiz, aku melangkah menuju TPQ-nya Umi. Di rumahku, ayah membangun sebuah ruangan dengan luas 6x7 meter. Di ruangan itulah TPQ-nya Umi berada. Tepatnya, berada di sebelah dapur rumahku.

Ketika aku masuk, sudah ada beberapa murid yang datang. Aku dan Umi duduk di depan papan tulis hitam. Umi menggolongkan tempat duduk murid-muridnya. Yang sudah Alquran, duduk di bagian selatan, dan yang masih Iqra’, duduk di bagian utara.

Pengajian Umi mulai dengan membaca beberapa amaliah Alquran. Lalu, satu per satu murid maju ke depan untuk dibina. Sembari menunggu giliran, murid-murid yang lain membaca Alquran atau Iqra’ sendiri-sendiri, menambahi bacaan Alquran atau pun mempelajari bacaan yang akan disetorkan ke aku atau Umi.

Aku berada di bagian selatan. Aku diutus oleh Umi untuk membina yang sudah Alquran. Aku mencari adiknya Kurma. Aku masih hafal wajahnya. Mataku sudah menangkap kehadirannya. Dia duduk di belakang sendiri. Saat ini, dia sedang membaca Iqra’ sebelum disetorkan ke Umi untuk dibina.

Kini, aku sedang membina seorang murid perempuan. Setiap ada bacaan yang salah, aku menyuruhnya berhenti, membenarkannya, dan mengulanginya. Ini adalah metode pengajaran Alquran yang tradisional tapi tetap eksis sampai sekarang. Di pesantrenku pun metodenya juga seperti ini.

Saat asik-asiknya membina, telingaku mendengar suara ulukan salam, “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Umi.

Aku menoleh. Ada seorang perempuan berkerudung merah, berbaju kuning dengan rok merah yang sedang salim kepada Umi. Ketika dia mengangkat wajahnya dari tangan Umi, aku tahu benar siapa dia. Dia adalah Kurma. Aku baru tahu kalau ternyata dia sekarang sudah ngaji di sini.

Dia mengambil tempat. Dia duduk sendiri di belakang. Begitu dia duduk, dia langsung membuka Alquran dan menambahi bacaan Alqurannya. Berarti, sebentar lagi aku akan duduk berhadapan dengannya! Hatiku menjadi tak keruan dag-dig-dugnya.

Murid-murid maju ke arahku secara acak. Siapa yang sudah siap, akan maju dengan sendirinya. Kalau tidak ada yang maju, baru aku panggil. Karena aku tidak mengenal satu per satu murid ngaji yang ada di sana, aku pun memanggil kesemuanya dengan sebutan “mbak”.

Ketika semuanya sudah selesai kubina, ada satu orang yang belum, yakni Kurma. Aku tidak berani memanggilnya. Yang jelas, hatiku berderap hebat sekarang. Aku serba meragu. Mau memanggil namanya takut sok kenal. Mau memanggil dengan sebutan “mbak” takut sok cuek karena kita bertetangga.

Ketika aku dilanda keraguan, dia bangkit dari duduk dan berjalan sopan ke arahku. Ketika dia duduk di depanku, dia menundukkan badan, lalu duduk dengan posisi seperti duduk di antara dua sujud saat salat seperti yang lainnya. Tapi, dia berbeda. Ketika sudah berada di depanku, dia merendahkan badannya dulu lalu mendekatkan diri ke arahku dengan bertumpu pada kedua tangannya. Sangat sopan. Aku pun terkesima.

“Silakan dimulai,” pintaku mempersilakannya.

Dia menangguk. Setelah dia membaca basmalah, dia mulai membaca. “Alkhabiitsaatu lilkhabiitsiina waalkhabiitsuuna lilkhabiitsaati waalththhayyibaatu lilththhayyibiina waalththhayyibuuna lilththhayyibaati ulaa-ika mubarrauuna mimmaa yaquuluuna lahum maghfiratun warizqun kariimun ....”

Pikiranku tiba-tiba melayang-layang. Pikiranku tidak konsentrasi untuk membenarkan bacaannya setelah mendengar yang dibacanya barusan. Sebelumnya, aku tidak tahu dia sedang membaca surat apa dan ayat berapa. Tapi, ketika dia memulai dengan ayat itu, aku tahu kalau dia sedang membaca surat An-Nur ayat 26 yang memiliki arti, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”.

Surat tersebut adalah surat yang mengemukakan bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu. Aku baru pertama kali ini menyimak bacaan Alquraan-nya Kurma. Tidak ada perencanaan apapun pastinya, tetapi dia membaca surat yang berkenaan dengan masalah jodoh dalam Islam.

Aku tidak pernah salat Istikharah atas Kurma. Belum pernah sama sekali karena aku belum saatnya untuk meminangnya. Pun seandainya sudah saatnya untuk meminangnya, aku pun mengenyampingkan perihal salat yang diperuntukkan untuk menentukan suatu pilihan tersebut. Sebabnya, adalah karena aku sudah yakin bahwa tidak ada keragu-raguan diriku atas Kurma. Jika aku melakukan suatu kegiatan spiritual yang berkenaan dengan Kurma, maka yang akan aku lakukan adalah salat Hajat, salat yang diperuntukkan untuk meminta suatu hajat besar.

Singkatnya, di dalam salat Istikharah akan ada pertanda yang dialami oleh seseorang dengan keadaan bermacam-macam. Jika ada pertanda baik, maka bisa dilanjutkan. Jika ada pertanda buruk, maka tidak dilanjutkan. Pertanda pasca-salat Istikharah umumnya datang melalui mimpi, kondisi alam, atau pun suatu pertemuan dengan seseorang yang dikehendai. Andai saja aku pernah salat Istikharah yang kutujukan untuk Kurma, tentu saja hal ini adalah pertanda yang baik.

Kurma selalu ada dalam setiap doaku. Surat Alquran yang dibaca Kurma, kuyakini sebagai pertanda yang baik. Meskipun aku tidak salat Istikharah, kuyakini setiap doa yang kusampaikan kepada-Nya akan Kurma, memberikan aku jalan spiritual yang tidak kusangka-sangka. Kebetulan itu klise. Tapi, keindahan yang paling berkesan selalu datang dari hal yang kebetulan.

Saat Kurma sudah selesai membaca satu halaman Alquran, aku menyuruhnya berhenti. “Sampai di sini dulu, besok dilanjutkan lagi.”

Kurma menatapku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Mungkin saja dia heran karena selama dia membaca, aku tidak mengoreksi kesalahan bacaannya sama sekali. Kesampingkan semua itu sejenak. Tatapan matanya kini membuat hatiku klepek-klepek.

Lihat selengkapnya