2012
Ada yang berbeda dari pemandangan apel pagi hari ini. Untuk pertama kalinya, kami berbaris bersebelahan dengan barisan anak putri. Selama hampir tiga tahun sekolah di sini, baru kali ini siswa dan siswi bisa berbaris dalam satu lapangan pada waktu yang sama.
Teman-temanku yang biasanya bersekolah menggunakan baju yang kusut karena tidak disetlika, tidak dimasukkan karena malas, kopyah hitam sudah berserabut karena sering dipakai pukul-pukulan, celana yang kedodoran karena tidak memakai sabuk, sudah tidak ada lagi. Mereka tampil rapi sekali. Teman-temanku pagi ini terlihat tampan dan pemberani.
Mungkin ini juga yang dirasakan oleh para siswi. Jarak barisan putra dan putri cukup jauh. Namun, aku bisa mencium bau wewangian yang merebak di lapangan. Bau-bau harum itu membuat teman-temanku seolah mabuk kepayang.
“Gini amat ya sekolah di pesantren, bareng sekolah sama anak cewek cuma tiga tahun sekali, itu pun cuma empat hari,” ungkap salah seorang teman di depanku yang berbisik kepada teman sebelahnya.
“Tolong jangan berbicara sendiri!” seru Bapak Kesiswaan yang sedang memberikan intruksi tata tertib UN. Beliau rupanya tersinggung karena seorang teman di depanku dari tadi bisik-bisik sendiri.
“Oke saya lanjutkan ya,” kata beliau. “Nanti kalau ujian, jangan lupa teliti dalam menghitamkan jawaban. Jangan terlalu hitam. Jangan terlalu tipis. Terlalu hitam atau pun terlalu tipis, bisa gagal dibaca sama komputer. Lalu kalau menghapus, jangan menekan keterlaluan, nanti kalau kertas jawabannya robek bisa gawat. Mengerti!”
“Mengerti!” jawab seisi lapangan.
“Baiklah. Jangan lupa berdoa kepada Allah ketika mau melaksanakan ujian. Jangan lupa baca bismillah. Semoga kita semua lulus seratus persen.”
“AMIIIN,” jawab seisi lapangan.
Aku mulai mengikuti kegiatan UN, Ujian Nasional. Selama mengikuti ujian, aku dihimpun gairah. Ujian ini akan berlangsung dalam empat hari ke depan. Pensil yang biasa kugunakan pun merupakan pensil yang biasanya kupakai untuk menggambar wajah Kurma. Kini, pensilku itu akan menunaikan tugasnya yang lain.
Satu pekan pun berlalu. Tiada yang lebih mendebarkan bagi kami saat ini, kecuali menunggu hasil pengumuman kelulusan. Semua anak pasrah atas semua hasil. Doa dan usaha sudah dilakukan penuh. Ujian nasional bagi kami memang horor. Tidak ada jaminan yang pintar bisa lulus. Terkadang, yang kurang pintar, tidak rajin, dan nakal, malah lulus.
Bapak Kesiswaan mengumpulkan kami, siswa kelas akhir, di musala. Dia berkata, “Saya hari ini sedih dengan kalian. Saya sedih sebentar lagi akan berpisah dengan kalian. Saya pun juga sedih karena ada beberapa kalian yang ujiannya tidak memuaskan.”
Kami pun menunduk ketakutan. Kami sudah tahu apa yang beliau maksud. Salah satu dari kami, ada yang tidak lulus. Beliau melanjutkan, “Anak-anakku semuanya, mohon bersabar jika salah satu dari kalian, mendapat nilai buruk, sehingga tidak bisa mendapatkan ijazah yang seperti biasanya. Mohon bersabar. Terima saja. Pasti ada jalan yang lebih indah.”
Kami semua lemas. Beliau kemudian membagi-bagikan hasil ujian nasional kami dalam sebuah amplop. Di situ, kami akan melihat nama-nama kami, apakah kami lulus atau tidaknya. “Jangan dibuka dulu, habis ini kita buka bersama-sama,” kata beliau.
Setelah amplop kecil itu terbagi semua, kami mulai diintruksikan untuk membukanya. Aku mulai menyobek amplop kecil berwarna putih itu. “Alhamdulillah,” ucapku penuh syukur melihat namaku terpampang “lulus”. Ucapan-ucapan hamdalah segera bersahut-sahutan kemudian. Kami saling melihat milik teman untuk mengetahui siapa yang tidak lulus. Tapi, tidak ada yang mengeluh “aduh”, atau mungkin mengeluh lirih, “Ya Allah”. Semuanya mengucapkan hamdalah.
“Pak, siapa yang tidak lulus, Pak?” tanya seorang teman.
Bapak Kesiswaan kemudian tertawa lepas. “Semuanya, lulus seratus persen!”
Kami semua langsung bersorak. Beberapa dari kami kesal karena ditipu oleh tingkah guru kami yang seolah-olah kami tidak lulus seratus persen. Bapak Kesiswaan hanya ingin memberikan sebuah kejutan. Dan kejutan itu membuat kami bersorak-sorak sampai pulang ke pesantren.
Byur! Byur! Byur!
Beberapa anak mulai dilemparkan ke kolam air mancur. Yang sudah basah dan naik keluar dari air mancur di taman pesantren, mulai membalas dendam dengan mencari mangsa. Aku tidak tahu di mana Latif berada saat ini. Saat aku menoleh ke samping, aku melihat Latif sudah basah kuyup. Baju putih abu-abunya sudah basah semua. Dia memandangku dengan tatapan nakal. Aku tahu dia akan melakukan apa.
Belum sempat aku berlari, dia sudah menyeretku. Pertama hanya Latif seorang. Setelah itu, berbondong-bondong teman-temanku menarikku, mengangkatku ke atas, mengayun-ayunkanku beberapa kali, dan melemparkan aku ke kolam. Byur!
Saat aku masuk ke dalam air, mataku memandang ke atas. Dari dalam air, sinar matahari siang ini membias di permukaan air. Yang kulihat dari bawah, itu seperti kilatan cahaya-cahaya. Dalam waktu sekejap, cahaya-cahaya yang bergerak bergelombang dan tak beraturan itu, membuat aku merasa seperti di dalam mimpi yang dipenuhi akan kenangan. Aku seperti melihat hari-hariku dalam tahun-tahun ini. Saat aku bertemu Kurma untuk pertama kali. Saat aku menanti keberangkatannya ke sekolah setiap pagi hanya untuk melihat wajahnya walau sekejap saja. Saat aku melukis wajahnya. Saat dia tersedak saat bertamu ke rumahku di Idul Fitri. Saat aku membinanya mengaji.
Begitu aku berenang ke atas, semua mimpi itu sirna. Badanku yang basah kuyup membuatku segar kembali. Latif mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kini, aku terbangun dari mimpi. Kini saatnya aku untuk mewujudkan mimpi itu. Dalam keadaan yang sama-sama basah kuyup, aku berjalan bersama Latif, sahabatku yang setia menemani. Aku mengenal Latif sejak berada di MTs Rikhlatus Salam. Kami mulai akrab dan menjalin persahabatan dekat saat masuk SMA, saat dia memergokiku menanti keberangkatan seorang perempuan, Kurma. Karena Kurma, aku bisa menjalin persahabatan dekat dengannya. Karenanya, aku bisa menemukan beberapa jalan untuk mendekati Kurma, khususnya tentang kepergianku setelah ini ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Semua ini seperti kebetulan. Tetapi, tidak ada kebetulan dalam kuasa Tuhan. Semua adalah skenario-Nya.
***
Kendala pertama dalam pendaftaran menuju Kairo, tertunda oleh masalah ijazah. Aku bercerita tentang hal ini kepada Syekh Hamadtuh. “Syekh, kami masih harus bolak-balik ke Depag untuk mendapat legalisir Depag karena ijazah kami berada di bawah naungan Diknas,” ungkapku pada Syekh Hamadtuh dalam Arab.
Syekh Hamadtuh pun akhirnya memberikan kami jalan. “Kalau begitu, minta tolong saja pada Ustad Wahid. Dia yang mengurusi proses imigrasi kami. Dia juga bekerja di Depag. Nanti, aku akan menghubungkanmu dengannya.”
Saat kami bertemu Ustad Wahid, kami berkenalan dengan beliau. Beliau merupakan lulusan Pondok Pesantren Sidogiri. “Aku dulu juga kuliah di Mesir kok setelah lulus dari Sidogiri. Nanti, aku juga akan membimbingmu dalam mengerjakan soal-soal tes,” ungkapnya.
“Alhamdulillah,” ucapku dan Latif, bersamaan.