Keberangkatanku ke Al-Azhat tinggal beberapa hari lagi. Aku, Latif, dan Ustad Wahid sibuk mempersiapkan berkas-berkas pemberangkatan. Saat ini, kami berada di kantor Kemenag, Malang. Kami mengumpulkan beberapa berkas sebagai persyaratan terakhir.
Saat aku kembali ke pesantren, aku melihat Ustad Suadi. Dia berdiri di bawah gerbang hijau pesantren, seperti menunggu seseorang. Aku yang bergoncengan dengan Latif, berhenti di dekatnya.
Saat aku turun dari sepeda, harapanku adalah dia menanyaiku bagaimanakah tentang berkasku, apakah sudah kelar semua. Namun, beliau tidak bertanya apa-apa ketika aku salimi. Dia malah memintaku mengikutinya.
Aku mengikutinya. Dia seolah menjauhkanku dari Latif. Entah apa yang mau dia sampaikan sampai-sampai harus dirahasiakan dari sahabatku. Dia pun berhenti. Kemudian, tangan beliau menempel di pundakku. Karena aku terlalu bahagia sebab berkas-berkasku final hari ini, aku tak sempat membaca raut wajahnya yang sebenarnya penuh kecemasan.
“Ada apa, Ustad?” tanyaku kepadanya yang sedari tadi diam saja, hanya menaruh tangan kanannya di pundak kananku. Posisi kami sama-sama menghadap ke jalan panjang yang di depan.
“Sebelumnya, mohon maaf,” ucapnya perlahan.
Tiba-tiba, perasaanku mulai dijalari rasa tidak enak. Semakin dia bertele-tele, aku semakin aku cemas. “Ada apa Ustad, katakanlah,” desakku.
“Barusan ada berita,” jawabnya.
“Berita apa?”
“Ayahmu?”
“Kenapa ayahku?”
“Ayahmu kecelakaan.”
“Kecelakaan! Kapan?”
“Baru saja.”
Jantungku seperti lepas dan jatuh mendengarnya. “Bagaimana keadaannya, Tad?” lirihku.
“Aku tidak tahu. Nak, sekarang pulanglah. Biarkan Latif mengantarmu pulang.”
Pikiranku yang semula ceria langsung kacau balau. Ketika aku meninggalkannya, tidak terpikir oleh untuk salim seperti biasanya. Aku berjalan tergopoh ke arah Latif. “Ada apa?” tanya Latif padaku.
“Buyah, Latif.”
“Kenapa ayahmu?”
“Beliau kecelakaan.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”
“Antarkan aku pulang sekarang.”
Aku dan Latif langsung tancap gas ke rumah. Begitu aku sampai di sana, rumahku ramai oleh tetangga. Aku menerobos masuk, langsung meninggalkan Latif yang sedang memarkir sepeda. Ada Mbah Kung dan Mbah Buk di ruang tamu. Keduanya menangis. Ini merupakan pertanda yang buruk.
Mbah Kung menuturkan kondisi Buyah. Beliau mengatakan bahwa Buyah sedang koma karena gegar otak. Seketika, aku pun lemas. Tulang-tulangku seolah melentur semua. Tamyiz duduk di pangkuan Mbah Buk dan tidak berbicara padaku sama sekali.
Di ruang tamu juga ada Kurma sekeluarga. Pak Thalib kemudian menjelaskan kronologi kecelakaan tersebut. Buyah dan Umi pulang dari membeli kotak makanan untuk acara selamatan besok di pasar. Lalu, ketika berbelok di pertigaan dekat kantor kecamatan, terserempet sepeda motor dari arah belakang dan terjatuh. Kepalanya membentur aspal.
Aku seperti kehilangan nyawa mendengarnya. Latif datang untuk menenangkanku dengan menepuk-nepuk punggungku. Aku merasa kepalaku pening sekali. Kemudian, aku menangis. Saat aku menangis, Tamyiz pun ikut menangis. Aku sangat sedih. Nanti malam Buyah berjanji akan menjengukku di pesantren untuk membicarakan acara selamatan besok. Rencananya, aku pun juga akan memberitahunnya tentang berkas-berkasku yang telah kelar. Aku akan memberitahunya bahwa sebentar lagi aku akan berangkat ke Kairo.
Dalam sekejap saja, kebahagiaanku berakhir melenyap.
Setelah salat magrib, aku akan diantar oleh Pak Thalib dengan mobilnya. Mbah Kung akan ikut menemani. Saat Latif berkata bahwa dia akan ikut, aku menolaknya. “Jangan, hari keberangkatanmu itu besok lusa,” sanggahku.
“Tidak apa-apa, Za. Aku bisa menemanimu.”
“Jangan, kamu berada di pondok saja. Perasaanku tak enak.”
Latif tidak berani menjawab. Dia hanya diam menatapku. Aku berdiri di samping pintu mobil yang sudah kubuka. Aku sudah bersiap masuk. “Latif, sepertinya aku tidak jadi ke Kairo,” ungkapku, “aku tidak bisa berangkat dalam keadaan seperti ini.”
Air mataku meleleh ketika mengingat akan Al-Azhar, mimpiku yang bisa jadi hanya menjadi mimpi. Di belakang Latif, ada Kurma yang menatapku dengan sedih. Aku sempat menatapnya sejenak. Lalu masuk ke dalam mobil ayahnya. Mobil itu pun membawa aku dan Mbah Kung pergi.
Ketika aku sampai di rumah sakit, aku mendapati Umi duduk di depan ruang IGD. Wajahnya bersih tersapu oleh air wudu dan air mata. Di samping Umi, ada Ibu Nyai beserta Kiai Muhammad, pengasuh Pesantren Rihlatus Salam. Kepala Umi berada di pundai Ibu Nyai. Ibu Nyai, mengelus-elus kepala Umi dengan penuh kasih sayang. Kiai Muhammad, guruku dan gurunya Buyah, duduk terpekur. Aku berlari ke arah mereka.
Begitu aku tiba di depan Umi, dia langsung memelukku sambil menangis. Dia tidak berkata apapun kepadaku. Tanpa berbicara pun, aku sudah mengerti semua kesedihan yang dialaminya. Pertama, karena Buyah sedang dalam keadaan koma. Kedua, karena hari ini seharusnya adalah momen-momen bahagia keluarga, nyatanya harus berakhir bencana.
Aku pun berderai air mata di pelukannya. Kiai Muhammad bangkit. Aku melepaskan pelukan Umi dan salim kepada beliau. Kemarin, aku meminta doa agar aku dilancarkan pergi ke Kairo. Hari ini, aku meminta doa lain. “Kiai, doakan Buyah sembuh,” lirihku begitu aku selesai mengecup punggung tangan beliau.
“Iya, cucuku. Bapakmu sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. Tentu kudoakan semoga baik-baik saja. Nanti, bangunlah malam untuk Tahajud. Berdoa yang mantap kepada Allah.”
Beberapa jam kemudian, beliau beserta Ibu Nyai undur diri. Kemudian, menyusul Pak Thalib. Kini, tinggal aku dan Umi yang berada di rumah sakit. Pakde dan Bude, datang sekitar jam sembilan malam. Dan malam itu juga, seorang dokter menghubungi Umi bahwa Buyah akan menjalani rangkaian operasi. Dan itu bukan operasi ringan.
Aku dan Umi tidak begitu paham dokter tersebut menjelaskan hasil foto rongsen. Dokter tersebut menjelaskan dengan detail apa yang dialami oleh Buyah dan bagaimana cara mengatasinya. Di akhir penjelasan, Umi hanya berkata, “Saya pasrahkan sepenuhnya kepada Anda, Pak Dokter.”
“Iya, Ibu, akan kami usahakan.”
Aku melihat Umi kemudian menandatangani sebuah dokumen.
Buyah akan menjalani operasi di kepala dua kali, darah beku dan gegar otak. Operasi di daerah sekitar rahang satu kali. Operasi di kaki kiri karena patah tulang. Semua operasi Buyah, akan dilaksanakan selama bertahap.
Keesokan harinya, Umi berbicara kepadaku. “Nak, besok hari keberangkatanmu,” ucapnya.
“Lalu, Umi?”
“Kamu harus berangkat ke Kairo.”
“Tidak, Umi.”
“Nak, jika kamu tidak berangkat, maka ....”
“Maka aku akan menjadi menyesal seumur hidup jika akhirnya Buyah kenapa-kenapa. Sekarang, Buyah dalam keadaan koma Umi.”
Umi pun kemudian menangis tersedu-sedu. “Maafkan Umi dan Buyah, Nak,” lirihnya.
“Tidak perlu meminta maaf, Umi. Aku sudah tidak memikirkan Kairo sekarang. Yang aku pikirkan hanyalah kesembuhan Buyah.”