Kurma

Faiz el Faza
Chapter #10

Hari Kematian

Empat belas hari kemudian ...

Buyah masih terbaring koma. Aku tidak bisa melihatnya dari dekat. Buyah berada di ruang ICU. Aku hanya bisa melihatnya dari kaca bundar di ruang tertutup tersebut. Aku hanya bisa melihat Buyah terbaring dengan terpasangi beberapa alat dan ventilator.

Dari kaca bundar itulah puluhan orang-orang yang menjenguk Buyah bisa melihatnya terbaring dalam keadaan koma. Buyah adalah seorang dai. Beliau merupakan pemimpin Jamaah Waqiah Kabupaten Malang bersama dengan Majlis Keluarga Kiai Muhammad. Setiap harinya, tamu yang menjenguk tidak ada hentinya. Mulai dari orang biasa sampai orang penting. Beberapa hari yang lalu, MR. Jackson, guru tugasan yang mengajar di asrama bahasa Inggris Pesantren Rihlatus Salam sampai datang menjenguk. Beberapa habaib seperti Habib Mauladawilah, Habib Toha Baagil, juga datang menjenguk.

Dari kesekian tamu yang hadir, yang selalu kurindukan kehadirannya adalah Kiai Muhammad. Beliau selalu datang ke rumah sakit setiap tiga hari sekali. Setiap kali beliau mengintip Buyah dari kaca bundar di pintu ICU, mulut beliau selalu membacakan doa.

Biaya untuk operasi Buyah tidak murah. Sampai hari ke-14 ini saja, kami sudah menggelontorkan uang sampai 50 juta lebih. Itu cukup membuat Umi seolah kehabisan nafas. “Umi, pasti ada rezeki,” ujarku pada Umi pada suatu saat. “Setiap penyakit ada obatnya, itu jaminan Allah. Kalau setiap penyakit ada obatnya, pasti ada jalan rezekinya.”

Benar saja. Setiap tamu yang datang menjenguk, selalu memberikan amplop berisi uang. Bukannya mengharapkan seperti itu, namun tidak ada jalan lagi bagi kami. Buyah hanyalah guru honorer dan sales sandal. Penghasilan beliau tentulah sedikit. Uang tabungan di bank juga sudah ludes semua karena biaya rumah sakit ini. Mungkin saja karena Buyah berjuang di jalan Allah berupa menegakkan agama setiap malamnya, dari masjid ke masjid, dari langgar ke langgar, untuk memimpin Jamaah Waqiah, maka jalan rezekinya dilancarkan.

Akan tetapi, itu semua belum cukup untuk menutupi biaya Buyah di rumah sakit. Akan ada dana-dana tambahan pastinya. Dan saat itulah Pak Thalib memberikan kami uang sampai belasan juta rupiah. Kami sudah menolaknya, namun Pak Thalib terus saja membantu biaya Buyah di rumah sakit.

Dan Kurma, selalu ke rumah sakit setiap tiga hari sekali. Setiap kali dia datang, dia selalu membawa makanan. Seperti hari ini, dia datang ke rumah sakit dengan membawa rantang makanan.

Aku mencari Pak Thalib, namun tidak ada. “Kurma, di mana ayahmu?” tanyaku.

“Aku datang sendiri.”

“Naik angkot?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Naik motor sendiri.”

“Hah! Naik motor sendiri?”

“Iya, Mas, sembari belajar berani naik sepeda motor sendiri di kota.”

“Hati-hati loh. Kalau motoran jangan lupa tetap fokus. Jangan menyalip jika ragu-ragu. Sempatkan tengok kanan-kiri sebelum memotong jalan atau belok. Jangan lupa mengencangkan helm.”

“Iya, Mas.”

“Kamu belum punya SIM, ‘kan?”

“Belum.”

“Hati-hati kalau ada polisi.”

Kurma tertawa. Ketika Kurma tertawa, Umi juga tertawa. Setelah sekian lamanya, baru kali ini aku melihat Umi bisa tertawa. Selama berada di rumah sakit, aku tidak pernah melihatnya tertawa. Ketika Umi tertawa, rinduku pun terobati. Aku sudah sangat merindukan tawanya itu.

Pada hari-hari selanjutnya, keadaan hatiku benar-benar mencekam. Aku melihat dokter-dokter yang silih berganti menangani Buyah, tampak mulai menemui jalan buntu. Di hari ke-17, dokter mengatakan sesuatu kepadaku, “Mas, mulai sekarang, persiapkan pembaringan di rumah. Di EKG atau di monitor detak jantung, detak jantung ayah Anda sangat lemah.”

Aku bingung bagaimana memberikan informasi itu kepada Umi. Aku hanya bisa duduk lemas di depan ICU. Di sampingku, ada sebuah jalan yang panjang. Ada tanda panah di jalan tersebut bertuliskan “Kamar Jenazah”.

Lihat selengkapnya