Kurma

Faiz el Faza
Chapter #11

Ruh Baru

Setelah aku menelpon Pakde dan menceritakan yang terjadi, aku kemudian menghubungi Pak Thalib. Begitu teleponnya tersambung, aku langsung menguluk salam, “Assalamualaikum, Pak Thalib.”

“Waalaikumsalam, Mas.”

Aku menjauhkan ponselku dari telinga. Aku tak menyangka kalau yang menjawab itu Kurma. Dia menjawab salamku dengan tidak bertenaga. “Kurma, ayahmu mana?”

“Dia sedang mengantar adikku ke sekolah. Ada yang perlu disampaikan, Mas?”

“Iya, Kurma. Detak jantung Buyah, kembali.”

“Maksudnya, Mas?”

“Ya, detak jantung Buyah kembali.”

Kurma tidak langsung menjawab pernyataanku barusan. Mungkin dia sungkan mau menanyakan pertanyaan, semisal kok bisa begitu Mas? bukankah sudah meninggal? Atau apakah yang tadi malam itu berita yang keliru? Atau apakah ayahnya, Mas, itu hidup kembali?

Aku pun menerangkan, “Buyah tadi malam memang tidak tertolong lagi, alias jantungnya sudah berhenti berdetak. Tidak perlu kujelaskan maksud dari jantung berdetak itu apa, kamu pasti tahu. Tetapi, pada subuh tadi jantung Buyah dinyatakan berdetak kembali. Aku juga bingung bagaimana ini bisa terjadi. Bahkan, perawat yang kutanyai mengatakan bahwa itu di luar kemampuan medis. Aku sendiri masih tidak bisa mengistilahkan apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas, Buyah sekarang sudah siuman dan nanti bisa dibawa pulang.”

“Ya Allah. Mas, nanti sudah bisa dibawa pulang?”

“Iya.”

Aku mendengar suara Kurma mulai bergairah. “Iya Mas, nanti aku sampaikan ke ayahku. Ya Allah, Mas, alhamdulillah. Nanti, aku akan ke sana sama ayahku, Mas.”

“Iya Kurma.”

“Ya sudah Mas, aku beritahukan ke ibuku dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” ucapku. “Kurma-Kurma!”

“Iya, apa Mas?”

“Terima kasih, Kurma.”

“Untuk?”

“Untuk segala kebaikanmu, untuk segala masakan yang kamu berikan untuk aku dan Umi. Terima kasih selama ini sudah memperhatikan aku dan Umi.”

Aku mendengar Kurma tertawa. “Mas, ibunya, Mas, itu guru ngajiku. Sudah sepatutnya aku memuliakan guruku dan memuliakan anaknya,” ungkap Kurma.

“Iya Kurma. Ya sudah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Ketika aku menetup telepon dari Kurma, aku merasa ada yang berjingkrak, tetapi bukan kaki, melainkan hati. “Ya Allah-ya Allah, kenapa hatiku ini ya Allah?” batinku sembari berjalan menuju tempat Umi. “Ya Allah, hatiku klepek-klepek, ya Allah,” batinku lagi.

Sembilan belas hari aku tidak merasakan setruman asmara kepada Kurma karena aku berada dalam masa-masa kalut, hari-hari yang hitam, penuh beban bertumpuk-tumpuk, berjejal-jejal, berantakan. Kini, setelah semua beban itu pergi, setruman asmara akan Kurma, kembali lagi. Hatiku yang mati rasa, kini hidup kembali. Berdetak lagi. Dan di setiap detaknya, tersipipi nama seseorang yang selalu kucintai, Kurma.

Pada siang harinya, Kurma dan Pak Thalib datang ke rumah sakit. Aku dan Umi menyambut mereka. “Bagaimana, Bu, bisa pulang hari ini?” tanya Pak Thalib.

“Belum, Pak. Biayanya masih belum terbayarkan. Ini kakak saya sedang pergi untuk meminjam pada saudara.”

“Ibu, di mana loket pembayarannya?”

Umi segera sadar atas apa yang akan dilakukan Pak Thalib. “Bapak Thalib, tidak perlu, Pak. Biarkan saja suami saya di sini dulu. Aku tidak apa-apa kok,” ucap Umi.

“Ibu, Anda sudah berada di sini berhari-hari dan tidak pulang. Begitu juga Mas Ghoza. Kasihan Tamyiz di rumah. Walaupun ada kakek-neneknya, Ibu harus segera pulang.”

“Tidak apa-apa, Pak. Sudah banyak kebaikan yang Bapak berikan. Kakakku sudah mencarikan pinjaman kok.”

“Tidak apa-apa Bu. Ibu sudah banyak pinjaman loh untuk menutupi kekurangan. Nanti kalau pinjam lagi, yang susah juga Ibu sendiri. Mumpung saya ada uang, Bu, terima saja.”

“Tidak, Pak.” Umi terus bersikeras.

“Ibu, jangan sungkan. Anggap saja doa yang Anda pintakan ke Allah dikirimkan melalui saya.”

Akhirnya, Umi tidak bisa menolak. Umi kemudian menunjukkan di mana harus membayar. Setelah semua pembayaran dan administrasi terpenuhi, Buyah kemudian dibawa pulang. Aku, Umi, dan Buyah, pulang menggunakan mobil Pak Thalib. Umi duduk di tengah bersama Buyah. Aku duduk di samping Pak Thalib yang sedang menyetir. Kurma duduk sendirian di belakang dengan beberapa barang di sampingnya.

Ketika aku sudah melihat rumahku, ada banyak sekali tetangga, sanak saudara, yang berkumpul di dalam dan di luar rumah. Begitu mobilku berhenti, Kurma dengan sigap mengeluarkan kursi roda. Aku dan Pak Thalib membopong buyah dari mobil, mendudukkannya di kursi roda.

Lihat selengkapnya