Ketika aku menata sandal untuk jualan hari Senin depan, aku tidak sadar kalau Umi dari tadi menatapku dari luar. Aku menata sandal-sandal yang akan aku tawarkan pada toko-toko sesuai dengan catatan yang tertera di buku kecil milik Buyah. Aku menoleh ke belakang. “Ada apa, Umi?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, Nak.”
Setelah Umi pergi, aku kembali menata sandal-sandal yang ada di ruangan kecil dekat kamar mandi rumah. Ada beberapa catatan yang tidak aku pahami. Buyah tidak menjelaskan beberapa alamat di lembaran, hanya tertera nama pemilik tokonya. Aku pun mencari Umi untuk menanyakan tentang ini.
Umi berada di ruang tamu. Aku segera duduk di depannya. “Umi, bisa bantu aku. Ini ada beberapa alamat yang kosong.”
“Iya, Nak.”
Lalu, Umi menjawab setiap pertanyaan yang aku utarakan. Tetapi, Umi seperti tidak bergairah. Dia seperti meragukan aku. “Umi kenapa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, Nak.”
“Umi sakit?”
“Tidak, Nak. Hanya saja Umi tak tega melihatmu harus berjualan.”
“Umi, ini juga jualannya Buyah kok.”
“Bukan itu, kamu jadi repot sekarang, bagaimanapun juga kamu harus melanjutkan pendidikanmu.”
“Tenang saja Umi, dijalani saja.”
Aku salah. Umi bukannya ragu padaku. Hanya saja, dia tidak tega. Alhamdulillah, batinku. Aku berterima kasih mempunyai kedua orangtua yang begitu memedulikan aku. Jujur aku tidak tahu bagaimana caranya berdagang, menawarkan sandal dari toko ke toko. Namun, kekhawatiran Umi padaku membuatku makin semangat akan tantangan ini. Aku kembali ke gudang untuk menata beberapa sandal, mencocokkan merek, model, dan ukuran.
Dari gaji mengajar di sekolah dan disambi menjual sandal inilah Buyah bisa menghidupi keluarga, menyelohkan aku dan Tamyiz. Walaupun Buyah adalah seorang dai, beliau tidak malu berjualan benda yang dipakai ditelapak kaki orang. Kata Buyah suatu saat, “Yang penting halal.”
Ada tamu pagi-pagi sekali di hari Ahad. Aku mengenal sekali orang itu. Beliau adalah kepala sekolah MA Rihlatus Salam, Abah Dhofiri. Saat ini, beliau berbincang-bincang dengan Umi. Buyah juga hadir di sana walaupun tidak berbicara sama sekali tentunya.
Aku sedang memotong kuku halaman belakang. Tiba-tiba, Umi memanggilku dengan kegirangan, “Ghoza, Ghoza!”
“Iya Umi, aku di belakang.”
Langkah kaki Umi kudengar tergesa-gesa menemuiku. Tanpa memandangnya karena fokus memotong kuku, aku bertanya, “Ada apa, Umi?”
“Nak ada kabar baik.” Umi duduk di sebelahku kemudian. “Nak, kamu akan mengajar, Nak.”
“Di?”
“Menggantikan Buyah untuk sementara.”
“Loh, bukannya Buyah mengajarnya pagi dan sore, di jam putra dan putri?”
“Nak, kamu mengajarnya di jam putri saja. Sekolahnya Buyah sedang kekurangan guru. Mau mencari guru baru, tidak bisa karena sungkan pada Buyah-mu. Mereka menunggu dia sembuh.”
“Jadi, aku hanya mengajar putri saja, Bu?”
“Iya, Nak. Jadi, kamu tidak perlu jualan sandal.”
“Mengajar ilmu agama, ‘kan?”
“Iya, ilmu hadis dan ilmu tafsir. Bukankah kamu bisa? Anak pesantren, tanpa kuliah pun pasti bisa kalau mengajar itu.”
“Iya Umi, tapi ... ya sudah Umi, aku coba dulu. Mulai kapan, Umi?”
“Nanti Umi beri jadwal mengajarnya.”
***
Sepulang dari Ma’had Aly, aku langsung menuju MA Rihlatus Salam. Letak sekolahan tersebut, berada tidak jauh dari SMA Rihlatus Salam. Buyah mengajar di sekolah ini. Inilah yang membuatku memilih ke SMA-nya agar tidak diajar langsung oleh Buyah. Aku malu karena aku merupakan si Raja Telat.
Awal aku masuk ke kelas, jantungku berdebar-debar karena harus mengajar siswi-siswi. Ini lebih mendebarkan daripada harus naik mimbar Jumat untuk pertama kali. Tetapi, semuanya berjalan lancar, selancar doa Umi yang selalu mendoakanku, mengkhawatirkan aku.
Kalender di rumah sudah dibalik satu kali untuk berganti bulan baru. Buyah sudah beberapa kali cek-up ke rumah sakit. Kini, dia sudah bisa berbicara walaupun suranya juga tidak terdengar bebas. Dia harus menyesuaikan keadaan indra pengecap pasca-operasi rahang. Pun, hampir separuh giginya, patah semua.
Ketika berduaan denganku di kamarnya malam ini, yang dikatakan Buyah kepadaku adalah tentang Kairo. “Nak, Buyah minta maaf, karena kamu batal berangkat ke Kairo,” ungkapnya.
“Tidak apa-apa, Buyah. Tidak perlu meminta maaf. Buyah sama sekali tidak salah karena ini semua memang musibah. Ini sudah kehendak-Nya. Sekarang Buyah sehat kembali, berhasil memulihkan diri, itu sudah lebih dari kebahagiaanku ke Kairo.”
“Bagaimana, Nak, mengajarnya lancar?”
“Lancar, Buyah. Alhamdulillah.”
Umi masuk ke kamar dengan membawa semangkuk jus soto ayam. Umi kemudian membantu Buyah untuk menyedot jus soto ayam tersebut. Meskipun Buyah sudah bisa berbicara, tetapi dokter mengatakan untuk sementara ini makannya dijus dahulu sampai waktu yang tidak ditentukan.
Saat aku menatap wajah Buyah, aku teringat akan Tamyiz. Pertama kali perban Buyah dilepas di rumah dan sudah bebas dari perban, Tamyiz yang melihat Buyah tampak melongo. Aku pun sebenarnya juga demikian. Setelah kecelakaan, wajah Buyah memang sedikit berubah. Aku tidak bisa menjelaskannya di sini secara detail tentang bagaimanakah perubahan wajahnya. Yang jelas, bekas-bekas operasi tersebut masih terlihat dengan jelas. Bahkan, alis kanan matanya saja sudah terpotong menjadi dua.
***
Aku tidak membayangkan ini sebelumnya. Sore ini aku melihat murid-murid di TPQ-nya Umi, salim kepada Kurma. Umi tidak cerita apapun kepadaku. Aku mengamati Kurma dari balik tirai yang berada di dapur. Aku mengintip. Dengan sabar, aku ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Beberapa menit kemudian, aku baru tahu kalau kini Kurma sudah menjadi asistennya Umi mengajar Alquran dan Iqra’.
Entah mengapa aku tersenyum melihatnya menjadi seorang pengajar Alquran. Aku terus menatapnya dari jauh karena dia tidak tahu. “Kak Ghoza ini ngelihatin siapa sih?” tanya Tamyiz secara tiba-tiba.
Aku tidak tahu kalau Tamyiz sudah berada di bawahku, ikut memandang ke arah ruangan TPQ. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia ada di sana. “Kamu sudah berapa lama di sini?” bisikku.
“Dari tadi.”
“Sudah nggak boleh mengintip,” kataku seraya berjalan pergi.
“Bukannya Kakak yang dari tadi mengintip Mbak Kurma.”
“Apa sih? Nggak kok,” jawabku sambil terus berjalan pergi.