“Tetapi, bagaimana cara membicarakan Kurma kepada orangtua, atau cara mendekati Kurma lebih jauh,” renungku, setiap hari.
Perenunganku yang purnawaktu, bergulir mengikuti bergantinya hari demi hari. Sampailah pada momen keluluasanku di Ma’had Aly Rihlatus Salam. Aku lulus tanpa mengikuti PKL, yakni bermukim selama satu bulan di desa-desa untuk membina sebuah TPQ, pesantren kecil, dan masjid. Semua ini arahan dari Kiai Muhammad. Beliau tahu aku sedang mengajar di MA Rihlatus Salam.
Aku berfoto di depan gedung Ma’had Aly Rihlatus Salam dengan Tamyiz, Umi, dan Buyah yang duduk di kursi roda. Buyah yang kakinya masih belum pulih untuk berjalan, tetap berusaha untuk hadir dalam acara wisudaku. Setelah acara wisuda selesai, aku resmi boyong dari pesantren dengan pamit kepada Kiai Muhammad.
Saat berada di rumah beliau, aku dan keluarga diajak makan bersama. Beliau bercakap-cakap kepada Buyah bahwa sistem pendidikan di Ma’had Aly akan dirubah yang mulanya hanya dua tahun menjadi tiga tahun. Selesai kami dijamu oleh beliau, kami mengajak beliau berfoto bersama.
Di MA Rihlatus Salam, aku mulai mengajar satu hari penuh, pagi di jam siswa, sore di jam siswi, sesuai dengan jadwal.
Pak Thalib berada di rumahku pagi ini. Dia juga yang mengantarkan keluarga kami dengan mobilnya pada wisudaku kemarin. Di hari-hari sebelumnya, Pak Thalib juga sering berkunjung. Setiap berkunjung, dia selalu memperhatikan kondisi Buyah. Sudah lama Buyah tahu bahwa Pak Thalib berperan besar dalam biaya rumah sakit. Setiap kali Pak Thalib ke rumah, Buyah selalu menyambutnya dengan baik. Umi selalu disuruh untuk menyuguhkan apa yang ada di rumah. Buyah dan Pak Thalib terlihat semakin akrab. Keakraban mereka seolah-olah sudah bersahabat mulai kecil.
Aku menelan dilema untuk berbicara tentang Kurma kepada Buyah. “Pak Thalib sudah banyak membantu keluarga kami, khususnya Buyah. Sungkan rasanya membicarakan tentang Kurma. Pasti Buyah akan sungkan membicarakan tentang Kurma atas diriku kepada Pak Thalib, sebab sudah banyak dibantu,” batinku ketika memandang mereka berdua sedang bercengkrama di ruang tamu.
Aku pun mencari cara lain. Aku ingin mendekati Kurma secara langsung. Minimal, berani memberinya SMS atau BBM. Terakhir kali aku bercakap-cakap dengannya melalui ponsel adalah saat dia izin tidak masuk mengaji. Itu saja.
Banyak waktu yang kuhabiskan dengan menatap layar ponsel, menatap nama Kurma yang tertera, dan bingung harus memberikan pesan apa. Bagaimana memulai percakapan? Apa yang harus dibahas? Bayang-bayang akan respon Kurma selalu menghantui. Walaupun aku dan Kurma hanya terpaut usia satu tahun, bagaimanapun aku adalah gurunya mengaji. Walaupun dia memanggilku “Mas”, bagaimamanapun aku adalah yang menerangkan kepadanya akan hukum-hukum agama dan bacaan Alquran.
Setelah aku menelan dilema, kini aku merasa serba salah.
Apakah aku harus menunggunya sampai waktu yang tepat? Tapi, kapan?
Pemenunganku membawa Umi datang kepadaku. Dia seolah bisa membaca isi pikiranku. “Nak, ada apa, kenapa kamu akhir-akhir ini kulihat sering melamun?”
“Tidak apa-apa, Umi.”
Umi menggeleng. “Punya masalah, sini cerita.”
“Tidak Umi, tidak ada apa-apa.”
“Ayolah.”
Aku tidak langsung menjawab. “Umi, aku punya teman. Dia mencintai seseorang sudah bertahun-tahun, dan sekarang ingin menikahinya. Masalahnya, seseorang yang dia cintai itu adalah tetangganya sendiri. Bukan tetangga jauh, melainkan tetangga depan rumah. Bagaimana menurut, Umi?”
“Mengapa dia tidak berani langsung melamarnya saja?”
“Umi, bagaimana bisa nanti resepsi pernikahannya. Bukankah harus dilaksanakan di dua mempelai putra dan putri? Kan, lucu nanti resepsinya.”
Jawaban Umi sederhana. “Ya, diadakan aja. Kan, nggak apa-apa. Nggak melanggar agama juga.”
“Iya sih, tapi ....”
“Tapi apa? Bukankah agama memudahkan? Memang siapa sih temanmu itu sampai-sampai bisa membuatmu sampai melamun terus?”
“Ada deh.” Jawaban Umi tadi, menentramkan hatiku. Saat aku merasakan ada damai di hati, tiba-tiba keluarlah Kurma dari rumah. Dia memakai kerudung putih yang terlihat cemerlang oleh sinar matahari siang ini. Aku menoleh memandangnya dari jauh, dari jendela kamar, di samping Umi.
“Kurma sekarang sudah besar ya,” ungkapnya tiba-tiba..
“Iya, Umi, padahal dulu tidak sebesar itu.”
“Emang kamu tahu?”
“Tahulah.”
“Berarti kamu memperhatikannya selama ini?”
“Ya ... enggaklah.” Aku tercengang atas pertanyaan Umi. Beliau seperti sedang menjebakku sekarang. Aku menjadi salah tingkah.
Setelah itu, Umi pergi dengan tawanya yang terdengar misterius. Batinku bertanya-tanya, apakah Umi tahu apa yang aku sembunyikan? Aku akan membuka laci meja di depanku duduk. Laci itu selalu aku kunci karena di dalamnya ada sesuatu yang tidak boleh siapapun tahu. Sementara ini, hanya Latif yang tahu tentang perasaanku kepada Kurma. Ketika aku menarik laci, Kurma tersenyum di sana. Aku pun tersenyum kepadanya. Laci itu kini menjadi saksi bahwa aku selalu melampiaskan rasa rindu, cinta, dan kekagumanku pada Kurma melalui sebuah gambar.
***
Satu tahun kemudian ...
Rumahku kedatangan anak-anak PPL Rihlatus Salam. Ini pertama kali ada anak PPL dan terasa spesial karena salah satu anak PPL tersebut adalah seorang putra kiai besar dari Surabaya, Gus Zubair. Aku mengenal betul Gus Zubair sebab aku pernah mementorinya kitab kuning. Dua anak lainnya adalah Wahyu dan Karim. Mereka akan tinggal di rumahku sampai satu bulan kemudian. Karena rumahku tidak terlalu besar, aku pun berbagi dengan adikku yang sudah tidak imut lagi, Tamyiz.
Saat Tamyiz berada di kamarku, aku selalu menyembunyikan kunci laci meja. Bagiku, itu kunci terlarang. Tidak ada yang boleh membukanya kecuali si empunya sendiri. “Kakak menyembunyikan apa sih?” tanya Tamyiz saat pertama kali aku memberitahunya tentang larangan membuka laci.
“Di sini, ada benda-benda terlarang.”
“Kakak mencuri?”