Perjalanan berkilo-kilo meter jauhnya telah terlampaui. Kurma menyetir dengan santai. Sebagai lelaki, aku malu karena perempuan yang menyetir. Sebagai lelaki, aku juga senang karena perempuan di sebelahku adalah perempuan yang selama ini aku lukis dan dia tidak tahu. Senang dan malu bercampur menjadi satu.
Kurma menyetir seperti sudah sangat jago. Beberapa kali, kulihat dia menyetir dengan satu tangan untuk sesekali melihat ponselnya. Di suatu perempatan, kami berjalan lurus ke utara. “Kita mau ke mana sih, Ghoza?” tanya Umi yang penasaran.
“Rahasia Umi. Nanti juga tahu kok,” jawabku.
“Kak Ghoza memang selalu menyimpan rahasia,” ungkap Tamyiz yang duduk di tengah, antara Umi dan Buyah.
“Kakakmu memang suka menyembunyikan sesuatu, Tamyiz. Dia itu pandai melukis,” kata Umi kepada Tamyiz.
“Loh, masak sih. Aku tidak pernah melihat dia melukis. Untuk apa coba punya bakat tapi disembunyikan,” sindir Tamyiz.
Perjalanan terus berlalu. Tidak ada pembicaraan lagi. Tiba-tiba, Tamyiz berkata, “Jangan-jangan, yang ada di laci rahasia itu adalah lukisannya Kak Ghoza ya, Mi.”
Umi hanya tertawa. Aku memandangnya dari kaca spion sambil geleng-geleng kepala. Setelah itu, aku melihat Kurma menyetir sambil menatap ponsel. Tidak hanya itu, dia juga mengetik. Entah memberikan pesan ke siapa.
Aku memberanikan diri mengungkapkan apa yang dari tadi ingin kukatakan. “Kurma, tidak bahaya nyetir sambil main HP?”
“Enggak apa-apa kok Mas. Santai saja.”
Kurma kembali menyetir dengan dua tangan. Aku ingin bertanya kelanjutannya, siapa sih yang dihubungi Kurma sehingga sampai segitunya, membalas pesan sambil menyetir. Namun, aku tahu batas. Sungkan rasanya mengorek lebih jauh. Pandanganku kini hanya tertuju pada tangan Kurma. Kuku-kukunya yang indah menempel di jari-jemarinya yang lentik. Dia tidak memakai pacar. Tidak masalah. Itu tidak menghalangi keindahannya sama sekali.
Perjalanan mulai memasuki Kota Batu. Beberapa meter kemudian, dari jauh tampak ada beberapa polisi yang sedang melakukan operasi. “Mas, tolong dibuka lacinya, cekkan apakah ada STNK di sana,” pinta Kurma.
Aku mengeceknya. “Ada Kurma,” jawabku. Aku pun membatin kemudian, “Bagaimana kamu tahu kalau STNK-nya ada di sini?”
Aku ingin melisankan apa yang aku batin barusan. Namun, perasaanku yang mulai tidak nyaman atas penampakan operasi para polisi di depan membuatku mengurungkan niat. Apalagi, aku melihat Kurma juga mulai tegang. “Kurma, punya SIM?” tanyaku.
Kurma menoleh. “Tidak, Mas,” jawabnya.
“Kalau begitu, baca sholawat, Kurma. Semoga kita lolos.”
“Mas,” panggil Kurma. “Kenapa Mas tidak pakai sabuk pengaman?”
“Sabuk pengaman?”
“Iya.”
Aku menunduk untuk melihat diriku sendiri. Iya, aku tidak memakai sabuk pengaman. Aku melihat lagi ke arah Kurma. Dia memakai sabuk pengaman. “Memang harus pakai sabuk pengamana?”
“Iya, Mas,” jawab Kurma dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Mobil masih melaju. Aku mencoba memakai sabuk pengaman. Sebelumnya, aku tidak pernah memakai sabuk pengaman. Ketika aku mencobanya, aku tidak tahu caranya. “Gawat!” pekikku dalam hati.
“Mas, sudah dipakai?” tanya Kurma.
“Belum. Nggak tahu cara makainya,” jawabku malu-malu.