Melihat Buyah sudah duduk kembali di kursi roda dan Umi mulai memegangi kedua ujungnya untuk didorong, aku dan Kurma segera menghampiri mereka berdua. Tamyiz mengikuti kami berdua.
“Umi, Tamyiz ngambek,” ungkapku kepada Umi.
“Kenapa Tamyiz?” tanya Umi dengan mendongak wajah ke arah Tamyiz yang berdiri dengan muram di belakangnku.
Tamyiz tidak menjawab. Aku pun mewakilinya, “Katanya di sini cuma taman tok, nggak ada wahana permainannya.”
“Ya, namanya aja wisata taman, Tamyiz.” Umi mencoba menghibur Tamyiz. “Mari kita lanjut jalan-jalan.
Umi mulai mendorong Buyah. Aku dan Kurma mengikuti mereka dari belakang. Ada penjual es krim di sebelah kami kemudian. Aku menoleh ke belakang. “Tamyiz, mau es krim?” tawarku.
Dia mengangguk. “Umi, mau beli es krim bentar,” kataku kepada Umi.
Aku bersama Tamyiz menuju si penjual es krim. Dari jauh, aku berkata pada Umi, “Umi, Buyah, juga?”
Umi menggeleng sambil tersenyum. “Mau rasa apa, Tamyiz, dipilih,” kataku sambil menyodorkan menu. Setelah Tamyiz memilih, aku pun memesan. Lama-lama, aku juga kepingin. Aku pun memesan es krim coklat. Aku melirik ke arah Kurma yang terdiam. “Kurma, sini!”
Kurma melangkah ke arahku. “Kurma, mau juga?”
“Iya, Mas.”
“Rasa apa?”
“Terserah Mas saja.”
“Jangan bilang terserah. Nanti seperti telur mata sapi, ternyata mintanya telur dadar.”
Dia pun akhirnya memilih sambil menahan tawa karena teringat peristiwa telur ceplok di depan rumah sakit. Pesanan akhirnya jadi. Milik Tamyiz diberikan oleh si penjual terlebih dahulu. Ketika es krim coklat pilihanku disodorkan, Kurma tiba-tiba nyelonong mengambilnya saat tanganku juga sedang menggapainya. Tetapi, dia berhasil memegangnya lebih dulu.
Sambil berjalan mengikuti Umi dan Buyah, aku dan Kurma menikmati es krim dengan rasa yang sama. “Maaf, Mas, kukira yang jadi lebih dulu adalah es krimku, eh ternyata, pesanan kita sama,” ungkap Kurma.
“Tidak apa-apa kok. Aku juga baru tahu kalau kamu suka coklat.”
“Coklat itu manisnya nggak ngebosenin.”
“Nggak legit kayak stawberry atau vanila?”
“Iya.”
“Kamu tidak suka yang manis-manis.”
“Enggak.”
Seperti es krim yang meleleh, begitulah keadaan hatiku saat ini karena tahu Kurma memiliki kesukaan dan ketidaksukaan yang sama denganku. “Kenapa emangnya, Mas?” tanya Kurma selang beberapa detik.
“Aku juga tidak suka yang manis-manis. Kalau mau makan yang manis, pasti pilihanku ya coklat. Kalau tidak coklat berarti ....” Aku menghentikan ucapanku. Ini adalah lanjutan kata yang sulit kuucapkan. Makanan manis selain coklat yang aku sukai mempunyai nama yang sama dengan gadis di sebelahku, kurma.
“Berarti?” tanya Kurma.
“Sudahlah.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa kok.”
“Kata ‘nggak apa-apa’ itu seperti ‘terserah’ loh, Mas.”
“Maksudnya?”
“Sama-sama ambigu.”
“Sungkan aja kalau mau ....”
“Kak Ghoza, kita naik itu!” seru Tamyiz, memutus perkataanku.
Mataku melihat yang ditunjuk oleh Tamyiz, ada bianglala dan columbus di atas. Aku melihat Tamyiz berlari ke arah Umi dan merengek ingin naik ke salah satu wahana di atas. Umi mengangguk kepada Tamyiz.
“Umi nggak apa-apa kami tinggal dulu?” tanyaku.
“Iya, Ghoza, nggak apa-apa, asalkan kalian berdua selalu sama Tamyiz.”
Aku baru tahu kalau di Selecta sekarang sudah ada beberapa wahana bermain. Ya, meskipun tidak sebanyak di Jatim Park, setidaknya bisa mengobati kemurungan Tamyiz yang kini menjadi riang.
Aku duduk bersama Tamyiz dan Kurma di wahana columbus. Kini malah akunya yang murung. “Ini wahana anak-anak, Kurma,” ungkapku ketika wahana yang kami naiki mulai berayun.
“Kok bisa gitu?”
“Ya, cuma bergerak ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Membosankan.”
Kurma belum sempat menjawab. Tiba-tiba, wahana yang kami naiki bergerak lebih tinggi dari sebelumnya dan turun dengan begitu cepatnya. Aku mulai merinding dan minta ampun, ingin menarik kata-kataku yang menghina wahana ini. Ternyata, wahana ini mendebarkan. Rasanya jantungku tertinggal di belakang ketika wahananya turun dengan begitu derasnya.