Kurma

Faiz el Faza
Chapter #16

Seperti Percobaan, Cinta adalah Risiko

Menjelang kepulangan anak-anak PPL, aku mendapatkan email dari Latif,

Yth. Pemuja Rahasia

di Kamar Renungan

Assalamualaikum, akhi, bagaimana kabarnya, pasti baik. Mohon maaf baru bisa mengabari karena kesibukan di perkuliahan, plus mahalnya ongkos pulsa untuk berkirim pesan lewat ponsel, hehehe. Kesibukan di sini padat sekali, Ghoza. Rasanya tidak ada waktu untuk menganggur. Lebih padat kegiatan di sini daripada di pondok dulu. Alhamdulillah, aku kemarin bertemu dengan Trio Syekh Mesir. Kamu dapat salam dari Syekh Fauzi, Syekh Hamadtuh, dan Syekh Hamada. Ketiga guru kita tersebut langsung menyakan kehadiranmu. Lalu aku sampaikan apa yang sebenarnya terjadi.

Ada tiga pesan dari tiga guru kita tersebut.

Dari Syekh Fauzi

Walaupun kamu gagal pergi ke Kairo, Syekh Fauzi selalu mengingat akan dirimu. Jangan lelah menjadi seseorang yang mencintai Alquran. Hafalkanlah Alquran 30 juz. Jika tidak mampu, periharalah mereka yang belajar dan mencintai Alquran.

Dari Syekh Hamadtuh

Bacalah salawat Haji agar kamu segera bisa mengunjungi baitullah. Nanti kalau kamu umroh, insallah Syekh Hamadtuh akan menemuimu di Madinah. Kalau kamu punya rezeki, berkunjunglah ke Kairo dan lihatlah universitas tertua di dunia. Kamu memang tidak jadi pergi ke Kairo, tetapi, mungkin saja Allah menghendaki keturunanmu yang akan pergi belajar ke Kairo. Siapa yang menanam, akan menuai. Jika bukan kamu yang menuai, maka keturunanmu yang akan menuai.

Dari Syekh Hamada

Pilihanmu untuk batal ke Kairo adalah pilihan yang tepat, yaitu berbakti kepada orangtua. Baktimu kepada orangtua akan diganti oleh Allah yang lebih besar daripada Al-Azhar. Niatanmu ke Al-Azhar sudah dihitung sebagai pahala.

  Sekian Ghoza, yang bisa aku sampaikan. Oh iya, bagaimana kabar Kurma. Aku masih menunggu undangannya loh. Setidaknya kisahmu masih berlanjut sampai sekarang. Semoga kegagalanmu ke Al-Azhar akan diganti Kurma oleh Allah. Wasalam.

Aku langsung membalas e-mailnya,

Yth, Abdul Latif

di Tanah Para Nabi

Waalaikumsalam Latif. Sesuai perkataanmu, kabarku baik-baik saja. Aku terharu dengan seluruh nasihat dan salam dari Trio Syekh Mesir. Kukira, beliau-beliau sudah lupa tentang aku. Andai saja aku berada di sana, pasti bisa reuni. Tapi, gantikan saja dengan salamku kepada mereka.

Tentang Kurma, ya masalahnya masih sama seperti saat kamu masih di sini, karena dia adalah tetangga depan rumah. Mau mengungkapkan perasaan, malu. Tidak mengungkapkan perasaan, terganggu. Semua jadi serba salah. Dia itu tetanggaku, kalau aku mengungkapkan dan ditolak, wah bisa jadi trauma seumur hidup. Bisa renggang nih silaturahmi antartetangga. Pun seandainya diterima, masih ada halangan yakni statusku. Pertama, dia tetangga depan rumah pas. Ya kamu tahulah bagaimana jadinya kalau dua pesta pernikahan diadakan di dua tempat yang berhadapan. Kedua, dia adalah muridku sendiri walaupun toh usianya terpaut cuma satu tahun di bawahku. Mau mengungkapkan, jadi tabu. Latif, akhir-akhir ini aku sering bersama Kurma. Kemarin, Kurma malah pergi bersama keluargaku untuk berlibur. Dia welcome sekali. Andai saja dia bukan tetanggaku, pasti sudah aku ungkapkan, andai dia bukan muridku, pasti aku tidak ragu lagi untuk mengungkapka.

Ya, namanya manusia, ketika hujan minta cerah. Ketika cerah lalu kepanasan mintanya hujan. Dulu aku berdoa supaya aku didekatkan atau diberi waktu dan tempat dengan Kurma. Sekarang dia sudah didekatkan dengan menjadi muridku, akunya yang mengeluh. Aku bingung bagaimana caranya menyatakan cinta kepada Kurma. Kan, aku gagal ke Kairo. Jadi, rencanaku juga gagal. Maka, aku sekarang sedang mencari cara lain untuk mendapatkan Kurma dan masih belum mendapatkan ilhamnya.            

Tiga hari kemudian, Gus Zubair dan kawan-kawan akan pamit. Dia memintaku, Umi, dan Buyah untuk berfoto dengannya dan kawan-kawan serta seluruh murid-muridnya Umi, baik yang mengaji sore maupun habis magrib. Setelah anak-anak PPL pulang, aku melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Mengajar di sekolah dan mengajar di TPQ bersama Umi. Setiap dua minggu sekali, Buyah selalu pergi ke rumah sakit bersama Umi untuk mengecek kakinya, sekaligus mendapatkan terapi.

***

Aku mengecek e-mail hari ini. Latif belum membalas e-mailku. Aku akan mengeceknya di hari-hari yang lain. Hari-hariku terlewati seperti biasanya. Diisi Kurma dengan segala kisah-kisah manisnya.

Seperti sore ini, Kurma memposting swafotonya yang memakai kaos bertuliskan “I Love Batu” dengan unggahan kalimat, “Kapan mampir ke sini lagi?”

Aku tersindir. Bukankah dia mengajakku secara tidak langsung. Aku tersenyum menatap fotonya dari layar ponsel. Dibuai asmara, aku pun langsung memakai kaos yang sama dengan Kurma, lalu melukis Kurma. Bertepatan dengan selesainya aku melukis Kurma, ada suara notifikasi e-mail. Aku langsung membukanya. Aku yakin itu dari Latif dan benar saja.

Yth. Si Peragu

di kamar keragu-raguan

Assalamualaikum, akhi. Maaf baru bisa membalas karena kebanyakan tugas, kedua juga karena aku masih memikirkan saran yang paling tepat untukmu. Setelah aku timang-timang, akhirnya aku menemukan jawabannya. Ghoza, kamu takut beberapa risiko jika mengutarakan perasaan kepada Kurma karena merupakan hal yang tabuh, tidak sesuai budaya, dan sebagainya. Tetapi, aku mau tanya, sebesar apakah rasa takutmu jika dibandingkan hanya memendam perasaan kepada Kurma bertahun-tahun sampai kamu wafat. Kamu sendiri juga tidak tahu apakah benar Kurma akan menolakmu, atau menerimamu dengan konsekuensi di belakangnya yang belum tentu juga akan seperti yang engkau pikirkan, takutkan, dan resahkan selama ini. Di mana ketakutan terbesarmu. Apakah kamu lebih takut kehilangan Kurma atau lebih takut dengan risikonya?

Setelah Latif memberikan aku kata-kata sebijak itu, aku mulai banyak merenung. Aku mulai bertanya-tanya kepada diriku. Sudah bertahun-tahun diri ini mencintai Kurma. Aku menginsafi penuh bahwa rasa takutku akan kehilangan Kurma lebih besar daripada segala macam risikonya yang selama ini membelenggu batin dan jiwaku. Sekarang, aku melamun sambil menatapi belasan lukisan wajah Kurma yang aku buat selama ini. “Mau dibawa ke mana lukisan-lukisan ini?” lirihku dalam batin resahku.

Tetapi, apakah tidak terlalu cepat? Sebab umurku juga masih 22 tahun dan Kurma 21 tahun. Apakah tidak terlalu dini jika aku memintanya, baik memintanya secara langsung kepadanya dengan berterus terang, atau membicarakan ini kepada Umi. Aku sudah menemukan jawaban dalam diriku, tetapi langkahku terhalang oleh usia. Aku pun mengatakan semua yang aku pikirkan itu kepada Latif melalui e-mail. Namun, Latif tidak membalas. Aku menunggunya, namun tidak ada balasan sampai berbulan-bulan lamanya. Aku sampai lupa akan e-mail terakhirku kepada Latif, namun aku masih larut dalam pemenunganku sendiri.

Hari ini saat aku berada di rumah karena libur hari Ahad, aku mendengar deru-deru mobil. Aku menyibak jendela. Ada tiga mobil yang berhenti di depan rumah. Dan mobil paling depan sendiri, aku tahu itu mobil siapa. Itu mobil Gus Zubair. Tapi, mengapa sampai ada dua mobil di belakangnya seperti sedang membawa rombongan?

Keluarlah para penghuni mobil tersebut. Salah satu orang yang bersama dengan Guz Zubair, aku tahu betul siapa beliau. Beliau adalah ayah dari Gus Zubair, Kiai Aqil Mujayyid, seorang ulama besar, putra dari kiai sepuh yang bernama Kiai Ali Mujayyid, pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum, Surabaya.

Lihat selengkapnya