Keberangkatanku berhaji semakin dekat. Hari ini, aku melakukan kegiatan latihan manasik haji yang terakhir di Pesantren Rihlatus Salam yang dipimpin oleh Abah Dofiri. Abah Dofiri pula yang mengurusi pergantian Buyah denganku. Beliau yang mengurusi segalanya. Aku hanya terima jadi.
Hari ini, aku menatap replika Ka’bah yang berada di tengah-tengah halaman MA Rihlatus Salam. Abah Dofiri memberi aba-aba kepada kami dan rombongan untuk melakukan thawaf dan sa’i. Walaupun ini hanya latihan, aku bisa memprediksi bagaimana getaran yang akan ditimbulkan ketika melihat Ka’bah untuk pertama kali.
Ketika latihan manasik haji selesai, ada seorang jamaah manasik yang duduk di samping sedang membuka bungkusan yang berisi kurma. Lelaki itu menawarkannya kepadaku. Aku mengambil sebutir kurma. Aku tidak langsung memakannya. Entah mengapa aku menatapnya terlebih dahulu. Mungkin karena tiba-tiba ingatanku mundur ke beberapa bulan yang lalu tepatnya saat Idul Fitri.
Kurma dan keluarganya berkunjung ke rumah. Aku duduk berhadapan dengan Kurma yang kebanyakan menunduk daripada melihat ke arahku, Umi, atau Buyah. Ketika Buyah menyuruhnya mencicipi aneka kue lebaran yang tersedia, Kurma hanya mengangguk tanpa menjawab. Dia tampak tidak ceria. Begitu pula aku.
Mundur lebih jauh ke belakang, pada pertengahan bulan Ramadan. Saat itu, Umi sedang sakit. Kurma tidak bisa setoran Alquran kepadanya. Dia pun kemudian menghubungiku untuk menanyakan kabar Umi. “Umi sakit maag tampaknya, jadi badannya lemas,” ungkapku di telepon.
“Mas Ghoza, aku mau setoran Alquran terus bagaimana ya?”
“Ya, mau bagaimana lagi. Ditunggu saja.”
“Mas, kalau setorannya ke Mas, bagaimana?”
“Ke aku? Tapi aku hafalnya juz 25 sampai 30, kamu juz 1 sampai 15.”
“Ya enggak apa-apa Mas, Masnya menyemak hafalanku dengan melihat Alquran.”
Aku terdiam sejenak. “Tetapi, apa bisa?” tanyaku selang beberapa saat.
“Maksudnya, Mas?”
“Kamu itu sudah dipinang. Kayak gimana gitu.”
“Lewat telepon, Mas.”
“Kalau begitu, silakan.”
“Mas, maaf ya, jadi merepotkan. Mas, waktunya kapan?”
“Sore saja, setiap jam setengah lima.”
“Masnya sedang ngapain sekarang?”
“Duduk.”
“Oh.”
Suara Kurma terdengar ceria. Dia tidak tahu kalau orang yang sedang dia hubungi saat ini dalam keadaan menahan gejolak. Aku berusaha segera mengakhiri sambungan telepon ini. Mendengar suara Kurma membuat hatiku jadi tidak menentu rasanya. Bagaimanapun, rasa ini masih ada. Jujur, aku masih mencintai Kurma. Bisakah melupakan seseorang yang sudah dicintai selama bertahun-tahun dalam waktu yang singkat?
Kurma bertanya lagi, “Duduk sambil ngapain?”
“Hanya duduk,” jawabku singkat. Kurma seperti berusaha menekanku untuk bertanya balik.
“Kalau duduk-duduk biasanya ngapain?”
“Biasanya, baca buku, baca kitab, melukis.”
“Oh iya-iya. Mas bisa melukis ya. Mas bisa ngelukis aku?”
Aku terdiam atas pertanyaan itu. Hatiku berkata bahwa aku bukan hanya bisa melukismu, tetapi aku telah berulang kali melukismu hanya saja kamu tidak tahu. “Ya, bisalah,” jawabku.
Kurma terdiam. Aku pun terdiam. Diamku membuatku bertanya-tanya, yang dikatakan Kurma itu tadi pernyataan ataukah permintaan. Dia seperti ingin aku bertanya apakah kamu mau aku lukis? Tetapi, ya sudahlah. Dia sudah dipinang orang lain. Tidak mungkin aku mengarahkan pembicaraan terlalu jauh.
“Ya sudah, Mas, dimulai besok.”
“Iya.”
Kemudian kami saling menguluk salam. Besoknya, aku memakai mulai menyemak hafalan Kurma. Aku memakai hetset yang kubungkan ke ponsel sambil melihat Alquran, menandai setiap ayat yang dibaca oleh Kurma. Besoknya dan seterusnya, aku selalu rutin menyemak hafalan Alquran yang Kurma lantunkan.
Berhari-hari mendengarkan bacaan Alquran Kurma, membuat telingaku seperti ada gaung bacaan Alquran walaupun aku sedang tidak memakai hetset. Setiap kali aku beraktivitas, suara Kurma selalu teringiang-ngiang di kepalaku. Bahkan ketika aku mau tidur, suara Kurma masih membekas di telingaku, bergaung-gaung tak mau pergi. Membuatku sering telentang di malam larut nan sepi, mata tidak terpejam, sementara telinga seperti tersumpal hetset yang memperdengarkan suara Kurma yang melantunkan Alquran.