Yang patut kusyukuri selain nikmat bisa menunaikan rukun Islam ke lima adalah aku masuk gelombang pertama. Artinya, aku bermukim dulu di Madinah untuk menunaikan salat Arbain, salat berjamaah 40 waktu di Masjid Nabawi. Aku pun bisa berdoa di Raudloh, salah satu tempat paling mustajabah untuk berdoa, berkali-kali.
Banyak hal lain yang menjadi kejutan. Latif juga berhaji tahun ini. Dia akan menghubungiku ketika berada di hotel Makkah karena mengikuti gelombang ketiga. Begitu penuturannya lewat telepon saat aku berada di hotel yang berada di Kota Madinah. Mas Faris juga sudah mencoba menghubungiku. Malam ini, saat aku berada di hotel untuk makan malam, akhirnya dia menelponku ketika aku dalam keadaan waktu luang. “Assalamualaikum, Mas Faris,” sapaku.
“Waalaikumsalam,” jawab Mas Faris.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku dalam Arab.
Mas Faris pun menjawab dalam Arab, “Alhamdulillah, baik, dan kamu?”
“Alhamdulillah, baik juga dan sehat,” jawabku dalam Arab.
“Bagaimana Latif, jadi ikut mampir?” tanya Mas Faris dalam Arab.
“Latif ikut gelombang tiga, Mas Faris. Jadi, dia langsung bermukim di Makkah. Dia akan berangkat bersama beberapa mahasiswa Al-Azhar asal Indonesia. Nanti kalau sudah berada di sana, kami kabari, Mas Faris,” terangku dalam Arab.
Abah Dofiri kemudian bertanya padaku, “Siapa, Za?”
“Temanku, Bah. Dia seseorang yang sukses di sini. Berawal dari menjadi TKI, dia sekarang menjadi seorang pengusaha tempe.”
“Ya, di sini pengusaha tempe rata-rata sukses. Temanmu itu di mana?”
“Di Makkah, Bah, tinggal di wilayah pertokoan katanya. Nanti saat musim beli oleh-oleh, aku akan ke rumahnya Mas Faris. Silaturahmi sekalian beli oleh-oleh dengan temanku yang satunya.”
“Ada teman lagi yang akan kamu temui di sini?”
“Bukan, Bah, maksudnya temanku yang kuliah di Kairo, Bah, dia juga haji tahun ini. Ya, ini momen-momen reuni juga.”
“Nanti saat beli oleh-oleh di Makkah, jangan lupa menawar.”
“Kalau beli Alquran bisa ditawar, Bah?”
“Beli Alquran kok ditawar.”
Aku dan Abah Dofiri kemudian tertawa-terbahak-bahak.
***
Bus yang aku tumpangi dan berkecepatan tinggi ini sedang melewati sebuah gapura berbentuk Alquran raksasa. Aku berangkat bersama rombongan KBIH Rihlatus Zam-Zam menuju Makkah hari ini setelah sepekan lebih berada di Madinah. Perjalan memakan waktu kurang lebih tiga jam. Setelah tiba di hotel, kami langsung beristirahat sembari menunggu besok. Aku akan menunaikan ritual umrah, sekaligus melihat Ka’bah untuk pertama kali.
Pada jam tiga malam waktu setempat, aku berangkat bersama rombongan menuju Masjidil Haram. Selama perjalanan, orang-orang di dalam bus tidak banyak saling berbicara. Begitu pula aku. Dalam pikiranku, yang ada hanyalah bayangan Ka’bah. Tanpa terasa aku bus sudah berhenti di jalan bawah tanah Masjidil Haram. Kami semua turun.
Seketika aku turun, ada suara seseorang yang memanggilku, “Ghoza!”
Aku menoleh. Ada Latif dan Mas Faris yang menyambutku. Aku langsung memeluk mereka. Sembari menunggu komando perjalanan dari Abah Dofiri, aku, Latif, dan Mas Faris melepas rindu satu sama lain dengan bercakap-cakap mengenai kabar masing-masing.
Abah Dofiri mulai mengomando beberapa saat kemudian. Aku, Latif, dan Mas faris bergerak mengikuti rombongan, berjalan menuju Masjidil Haram. Kami berbelok menuju eskalator. Ketika akan naik, aku melihat penunjuk jalan bertuliskan “Haram Piazza” dengan tanda arah ke atas. Eskalator yang kupijak, membawa diriku ke atas. Kelihatanlah bangunan besar yang diresmikan sekitar tiga tahun yang lalu, Tower dan Hotel Zam-Zam. Kini, aku sudah berada pelataran Masjidil Haram. Mataku disuguhi pemandangan yang menggetarkan hatiku akibat melihat kemuliaannya Masjidil Haram. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia wara-wiri di sekitaran Masjidil Haram.
Aku dan rombongan mulai masuk ke dalam Masjidil Haram. Aku melewati sebuah lorong. Di dindingnya, ada tulisan “To Mataf Piazza” dengan arah panah yang mengarah ke depan, ke dalam Masjidil Haram. Jalan yang aku lalui dipadati oleh orang-orang dari seluruh dunia dengan bermacam-macam ras dan suku berbaur menjadi satu, berbondong-bondong berjalan ke menuju kiblat umat muslim sedunia. Tapak kakiku mulai masuk lebih dalam. Mataku mulai bisa melihat Ka’bah dari kejauhan, dari balik tiang tiang berwarna kuning kecoklatan.
Aku melewati eskalator mini, turun ke bawah. Inilah detik-detik perjalananku melihat Ka’bah dari dekat. Aku merasa aku ingin berlari dan menghambur-hamburkan rinduku kepada Ka’bah Al-Musyarrofah. Ka’bah semakin dekat. Atap di atasku mulai digantikan dengan langit di atas Ka’bah. Aku merasakan derasnya aliran spiritual dalam seluruh badan dan jiwaku.
Aku mulai membaca doa dalam Arab, “Ya Allah, tambahkanlah Ka’bah ini kemuliaan, keagungan, kehormatan, kebaikan, dan kewibawaan. Tambahkan pula kemuliaan bagi orang-orang yang memuliakannya.” Aku mulai menangis. Doaku terdengar parau di telingaku. “Yang menjadi kiblat salat. Yang selama ini selalu kita rindukan. Akhirnya sekarang berada di hadapan kita ....”
Aku melanjutkan janjiku kepada Buyah. “Ya Allah, sembuhkanlah Buyah. Ya Allah, semoga mereka, Umi dan Buyah, dapat bersama-sama memenuhi panggilan-Mu.”
Lampu hijau menyala, tanda tawaf dimulai. Aku dan rombongan mulai melakukan tawaf. Aku, rombongan, dan seluruh orang-orang yang berada di sana, semakin merapat ke arah Ka’bah, semakin berdesakan, semakin khidmat dan khusuk. Tanganku mulai terangkat bersamaan dengan tangan-tangan jamaah yang lain sebagai ritual tawaf. Airmataku semakin deras kurasakan.
Dengan lisan yang terus menzikirkan bacaan thawaf, kusempatkan berkata dalam hati, “Ya Allah, aku sudah ikhlas atas Kurma. Ya Allah, aku sudah ikhlas atas Kurma. Ya Allah, aku sudah ikhlas atas Kurma. Jika dia bukan jodohku Ya Allah, kuserah semuanya kepada-Mu. Kuserahkan hidupku, rezekiku, jodohku, dan matiku kepada-Mu ....”
***
Hari Putih
Ibadah hajiku telah usai. Setelah melakukan thawaf perpisahan dengan Masjidil Haram, aku dan rombongan mulai bersiap pulang. Empat puluh hari aku berada di sini, di Madinah dan Makkad. Rasanya seperti mimpi saking cepatnya waktu berlalu, karena diisi dengan kebahagiaan, kekhusukan, kehidmatan, dalam beribadah. Dari Jeddah, aku bertolak menuju Indonesia untuk pulang dengan harapan menjadi haji mabrur.
Sesampainya di tanah air. Aku terbangun di dalam bus. Bus yang membawa rombongan telah memasuki kotaku tercinta rupanya. Aku melihat Masjid Sabilillah, Blimbing. Bus yang aku tumpangi berbelok di sana untuk melaksanakan salat Isya. Setelah salat, aku menyempatkan untuk menghubungi Umi. “Umi, aku sudah berada di Blimbing,” kataku di telepon.
“Iya, Nak, Umi sudah berada di pesantren, menunggu kehadiranmu.”
Perjalanan pulang berlanjut kembali. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan keluargaku, Umi, Buyah, dan Tamyiz. Kerinduanku membuat mataku terjaga sepanjang perjalanan selanjutnya. Setiap bangunan yang kulihat, berjalan mundur. Senyumku pun merekah bahagia. Jarak antara aku dan keluargaku sudah dekat.
Bus yang aku tumpangi mulai memasuki Bululawang. Beberapa menit kemudian, aku sudah melihat gerbang biru pesantrenku tercinta. Ketika memasuki gerbang, aku melihat ramainya keluarga-keluarga rombongan yang menunggu kedatangan keluarganya pulang dari Tanah Suci. Bus pun berhenti. Aku segera berdiri dan mengambil barang-barangku. Dengan tertib, aku berjalan mengantre dengan jamaah yang lainnya untuk turun dari bus. Seketika kakiku menginjak tanah pesantren yang mulia ini, mataku seketika mencari-cari di mana Umi, Buyah, dan Tamyiz yang telah menantikan kehadiranku. Tidak, aku tidak perlu mencari mereka. Justru, mereka yang menghampiriku. Aku mendengar suara Tamyiz memanggil-manggil namaku, “Kak Ghoza, Kak Ghoza, Kak Ghoza!”
Aku langsung memeluk dan mencium kedua pipinya. Lalu, aku bergerak ke arah orangtuaku, memeluk mereka dengan haru, dan mencium kedua pipinya. Di belakang mereka, ternyata ada Pak Thalib dan Ibu Thalib yang juga menanti kehadiranku. Tetapi, tidak ada Kurma di sana. Setelah acara sambutan dari Ketua KBIH, Abah Dhofiri dan perwakilan Majlis Keluarga Pesantren Rihlatus Salam, Gus Fakhru, selesai disampaikan, para jamaah diperbolehkan pulang. Namun, aku dan keluarga tidak langsung pulang. Umi memintaku untuk berkunjung ke rumah Kiai Muhammad. Kata Umi, aku diundang ke rumahnya. Pun ada beberapa jamaah haji yang merupakan alumni pesantren, tidak diperbolehkan pulang. Separuh jamaah haji sudah pulang. Separuh yang lainnya pergi ke rumah Kiai Muhammad.
Aku merasa ada yang aneh dengan suasana di depan rumah Kiai Muhammad yang bersandingan dengan Masjid Rihlatus Salam. Di pelataran masjidnya, terdapat hiasan bunga-bunga yang tergelar di atas karpet yang membentang luas. Aku merasa semakin janggal ketika melihat di teras masjid ada sebuah hiasan bunga-bunga yang ramai, warna-warni, dan memesona. “Ada apa ini?” batinku keheranan.
Kejanggalanku tidak berhenti sampai di sini. Ada seorang ustad yang mengomando para jamaah untuk duduk di pelataran masjid yang tergelari karpet. Namun, aku dan keluarga beserta Pak Thalib dan Ibu Thalib tidak dikomando untuk duduk seperti yang lainnya. Ratusan santri juga kulihat berdiri di depan kamar, seperti membuat barisan yang hendak melihat suatu acara ataupun menjadi persaksian. “Ada apa ini?” batinku sekali lagi.
Saat langkahku sudah berada di depan rumah Kiai Muhammad, beliau kulihat keluar menyambutku. Aku pun salim dan berpelukan dengan beliau. “Haji Ghoza,” panggil beliau kepadaku. “Anakku, selamat datang, Nak.”
“Doakan saya menjadi haji mabrur, Kiai,” lirihku sembari berkaca-kaca saking terharunya melihat beliau.
“Haji Ghoza, kamu sekarang duduklah di teras masjid.”
Aku menoleh ke teras masjid. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Ya Allah, ada apa ini?”
“Kiai, mohon maaf, ada apa dengan semua ini. Mengapa aku harus duduk di sana, Kiai?”
“Haji Ghoza, kamu akan aku nikahkan sekarang juga.”
Antara kaget dan terharu, antara bahagia dan terkejut, aku menjawab dengan berurai airmata, “Menikah, Kiai? Menikah dengan siapa, Kiai?”
Buyah mendekat ke arahku dengan didorong Umi. Beliau kemudian menarik lengan bajuku sampai telingaku dengan dekat wajahnya. Dia berbisik, “Anakku yang aku sayangi, kamu akan menikah dengan Kurma.”
Aku seperti tersambar petir mendengarnya saking betapa kagetnya aku. Aku mendekat ke arah Umi dengan berurai airmata. “Umi, menikah dengan Kurma, Umi? Bagaimana bisa, Umi, bagaimana semua ini bisa terjadi, Umi?” tanyaku kepada Umi.
Airmataku tidak menular ke Umi. Dia tidak menangis. Justru dia tersenyum penuh kebahagiaan kepadaku. Dia mengusap airmata yang jatuh di pipiku seraya berkata, “Nak, Allah punya rencana bagi hamba-hambanya yang sabar. Banyak yang mesti diceritakan, tapi kesampingkan semuanya. Tugasmu sekarang adalah mengikuti Kiai menuju panggungmu. Buyah akan menjadi saksi nikahmu. Maharmu adalah Alquran yang kamu bawa dari Makkah. Nak, Kiai Muhammad sudah menunggu. Naiklah, Nak, naiklah!”
Tanganku digamit oleh Kiai Muhammad menuju teras masjid. Aku masih belum melihat akan kehadiran Kurma. Di mana dan sedang apa dia sekarang? Aku tidak tahu. Kini, aku duduk di antara Kiai Muhammad dan Majlis Keluarga Pesantren. Pak Thalib yang mendorong Buyah di kursi roda, berada di dekatku, tetapi tidak bisa naik ke teras masjid. Kiai mulai membacakan prosesi pernikahan. Aku tidak bisa membayangkan betapa bergemuruhnya kebahagiaan dan keharuan hatiku saat ini saat ini. Dengan mantap, aku berucap, “Qobiltu nikakhaha wa tazwi jakhaha bil mahrir madzkur!”
Setelah prosesi selesai, aku dan keluarga serta mertua, dibina menuju rumah Kiai Muhammad. Aku duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian, Umi dan Ibu Thalib yang masuk ke ruang tengah, keluar dengan seseorang bidadari yang akan naik ke langit pada akhir hidupnya nanti setelah melewati perjuangan membina cinta denganku, Kurma.
Kedua tangan Kurma yang digamit oleh Umi dan Ibu Thalib terlepas. Aku melihat Kurma yang berdandan dengan gaun serba putih amat anggun terlihat. Semua ini seperti mimpi. Kurma berjalan ke arahku dengan takzimnya. Kemudian, aku mengangkat tangan kananku. Dengan kedua tangannya, dia mengambil tanganku untuk ditempelkan ke wajahnya. Setelah itu, aku menyentuh ubun-ubunnya seraya membacakan doa. Selama doa kupanjatkan, Kurma dan aku menangis haru.
***
Untuk sementara, aku dan Kurma berada di rumah masing-masing, tidak serumah, apalagi sekamar. Mulai besok dan seterusnya, di rumahku akan diadakan ziaroh haji, sebuah tradisi berkunjung ke seseorang yang baru pulang dari Tanah Suci untuk dimintai doa dan sambung tali silaturrahmi.
Besoknya, beberapa tetangga, sanak saudara, temannya Umi dan Buyah, teman-temanku sendiri, silih berganti datang ke rumah. Mereka bercengkrama denganku, makan-makan, dan yang terakhir, aku memanjatkan doa. Sampai malam hari, selalu ada tamu yang berkunjung. Ketika sudah jam sembilan malam, barulah tidak ada tamu lagi. Kurma yang dari pagi sampai malam membantu memasak, membersihkan rumah, dan ikut menemui tamu-tamu putri, akan pulang ke rumahnya. “Mas, aku pulang dulu,” ujarnya.
“Iya, Kurma. Terima kasih telah membantu.”
Kurma bercanda, “Kita itu suami istri loh, Mas, sudah sepatutnya sebagai istri aku membantu.”
Aku melihat Kurma melenggang pergi menuju rumahnya. Aku jadi teringat akan cerita Umi tadi malam sepulang dari pesantren. “Umi, bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanyaku sambil duduk selonjoran di atas tempat tidur.
“Kamu nggak capek? Nggak diceritain besok saja?”
“Nggak Umi, nanti aku nggak bisa tidur nyenyak.”
“Baiklah, begini Ghoza, ketika pernikahan Kurma berlangsung satu hari, kakeknya Gus Zubair, wafat.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.”
“Setelah itu, Nak, pernikahan tersebut tidak bisa dilanjutkan lagi. Sebabnya adalah karena sebelum wafat, beliau mewasiatkan kepada cucunya agar memperdalam ilmu agama di Hadromaut, Yaman. Wasiat itulah yang akhirnya menjadi sabab-musabab pernikahan Kurma dan Gus Zubair tidak bisa dilanjutkan lagi. Sebuah wasiat pasti sakral, Nak, tidak bisa diganggu gugat.”
“Lalu, Umi?”
“Akhirnya, mereka bercerai.”
“Bercerai?”
“Iya, tidak mungkin rasanya membawa seorang istri ke Hadromaut. Kalau misalkan memperdalam ilmu agama di Al-Azhar Mesir sambil membawa istri banyak bisanya, namun kalau ke Hadromaut, ah rasanya agak riskan. Kamu tahu sendirilah kalau mondok di Hadromaut itu bukan hanya memperluas pengetahuan agama, tapi juga memperdalam spiritualitas dan sufistik. Seingatku akan cerita Kurma malah begini, katanya kakeknya Gus Zubair itu berpesan mondok di Hadromaut supaya Gus Zubair lebih zuhud dan warak kepada dunia. Ya, orangtuanya Gus Zubair pun juga tidak punya cara lain.”
Aku terdiam. “Kamu kenapa berwajah seperti itu?” tanya Umi.
“Tidak apa-apa, Umi.”
“Tenang saja, Nak. Mungkin juga belum jodohnya Gus Zubair. Gus Zubair itu kan putra kiai, untuk mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Kurma itu mudah.”
“Bukan itu, Umi, tetapi bagaimana dengan perasaan Kurma saat itu?”
“Ya, namanya perempuan, Ghoza, lelaki selalu bisa memilih, dan perempuan hanya bisa menerima. Ya, pastinya dia sedih. Dia sedih berlarut-larut bahkan sampai tidak mau makan. Ya kayak kamu dulu itu. Karena Umi adalah gurunya, Pak Thalib kemudian menyuruhku untuk datang ke rumahnya dan menghiburnya. Terjadilah pembicaraan tentang kamu, Ghoza.”
Umi terdiam dan menatapku. Beliau seperti menungguku untuk bertanya. “Ya sudah, Ghoza, kelanjutannya nanti tanyakan langsung kepada istrimu,” godanya.
Beberapa hari telah berlalu. Kini, tamu ziaroh haji yang datang ke rumah sudah mulai berangsur sepi. Sore ini, Kurma menelponku. “Mas, Ghoza, aku di rumah sendirian,” ungkapnya di telepon.
“Aku harus ke sana?”
“Emang tega membiarkan istrinya sendirian?”
Aku tertawa mendengarnya. Aku mengetuk pintu ketika berada di depan rumah Kurma. Ketika Kurma membukakan pintu, sembari diselingi tawa, Kurma memprotes, “Mengapa tidak langsung masuk saja, ini rumahmu loh, Mas.”
“Iya-iya, nanti kubudayakan.”