Saat Fatimah sampai di dekat Feby. Orang-orang mulai berkerumun meminta salam serta meminta nomor pribadinya. Mereka masih mengagumi sosok Fatimah, bagi mereka Fatimah adalah wanita tercantik yang mereka temui. Memandang wajahnya malah dibuat terpesona, menyejukkan dan menenteramkan hati orang yang memandangnya.
"Wah, Fatimah. Kamu masih saja cantik seperti dulu. Kita lewat, kalah saing!" seloroh salah satu teman reunian.
"Iya, malah sekarang terlihat begitu sangat cantik. Beruntung sekali pria yang menjadi suamimu," ujar seorang pria yang ada di acara reunian.
Mendengar kata suami membuat wajah Fatimah berubah tegang. Apa yang harus ia katakan jika mereka bertanya lebih lagi, semisal menanyakan di mana suaminya? Punya anak berapa? Jujur. Ya, mungkin dia harus jujur untuk apa ia tutupi. Kenyataan dirinya memang belum menikah.
Feby yang melihat perubahan pada raut wajah Fatimah langsung mencairkan suasana. Mengalihkan perhatian orang-orang dengan pamer apa yang ia miliki. Begitulah Feby. Ia selalu peka, peka jika sahabatnya ini jadi suka insecure saat ada yang bertanya masalah pribadinya. Oleh karena itu, saat ada orang yang menyinggung hal pribadi Fatimah maka Feby akan selalu melindungi dan mengalihkan topik pembicaraan. Dan itu selalu sukses.
Acara demi acara berjalan dengan lancar. Semua yang di sana bahagia, bisa saling melepas rindu yang sudah lama terpendam sebab sudah di sibukkan dengan urusan masing-masing.
Fatimah mulai merasa risi, saat lagu-lagu yang sangat mengganggu indra pendengarannya mulai menggema. Suara nyanyian yang menurutnya sangat tidak berfaedah itu. Di mana yang terdengar hanyalah nyanyian yang tak jelas liriknya, teriak-teriak tak jelas.
Melihat Feby yang begitu menikmati alunan lagu yang diputar. Fatimah malah mulai merasa pegal di kaki. Pasalnya, hari ini menggunakan heels dengan tinggi heels 5 cm. Tidak terlalu tinggi, tapi, karena Fatimah tidak terbiasa tetap tidak terasa nyaman di kakinya.
"Kenapa di sini enggak disediain tempat duduk? Kakiku rasanya mulai pegal," keluh Fatimah seraya memijat betisnya dan memutar kepalanya untuk mencari tempat yang bagus untuk ia duduk.
Di ujung dekat pintu keluar, netra Fatimah melihat sebuah meja dengan empat kursi mengelilinginya. Tanpa banyak berkata lagi Fatimah segera menuju ke kursi dekat pintu keluar itu.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk juga," ucap syukur Fatimah setelah ia baru saja mendudukkan bokongnya di kursi.
Sejurus kemudian, dari tempat ia duduk memperhatikan teman-temannya yang sangat bahagia. Kadang Fatimah berpikir, yakin jika setiap orang pasti memiliki banyak masalah. Namun, yang membuat dirinya takjub mereka bisa menyembunyikan dengan begitu sangat apik.
Bagaimana dengan dirinya? Jangan ditanya, sebab kalau saja ada lomba menyembunyikan perasaan yakin pemenangnya Fatimah. Ia begitu pandai berkamuflase dengan seutas senyum yang tak pernah pudar di bibirnya itu.
Hari semakin siang, Fatimah sudah mulai bosan. Tak banyak yang ia lakukan selain duduk ditemani kudapan yang tersedia di sana. Jangan lupa ia juga terus mengawasi kebahagiaan yang terpancar di wajah-wajah teman SMA-nya itu.
Fatimah juga memperhatikan beberapa temannya yang memboyong semua anggota keluarga kecil mereka. Terlihat bahagia dan... mengasyikan pikir Fatimah. Kadang Fatimah tersenyum sendiri saat kedua netra-nya melihat kelucuan dan kegemesan anak kecil. Dirinya memang tidak terlalu menyukai anak kecil, tapi melihat tingkah lucu nan gemas mereka membuat Fatimah berandai-andai. Andai ia memiliki seorang anak. Anak yang terlahir dari rahimnya sendiri. Kapan? Entah!
Di tengah keasyikan Fatimah memperhatikan anak kecil yang lucu dan gemain, suara bariton seseorang membuyarkan angannya. Fatimah terperanjat dan langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Hai! Boleh aku duduk?" tanya seorang pria yang memiliki tubuh jangkung nan rupawan.
Fatimah tertegun, ia memicingkan matanya seperti sedang berpikir sesuatu atau mungkin sedang mengingat sesuatu. Merasa jawabannya tidak di respons pria yang ada di hadapan Fatimah melambaikan tangannya di depan wajah Fatimah.
"Hai! Are you oke?" tanyanya dan Fatimah masih bergeming.
Hingga saat pria itu memegang pundaknya baru Fatimah tersadar dari angannya.
"Eh, maaf."
"Bolehkah aku duduk di sini?" ulang pria itu seraya menunjuk kursi yang ada di samping Fatimah.
"Silakan, ini tempat umum. Siapa saja boleh duduk di sini." jawab Fatimah.