"Dek!" teriak Azam saat melihat dua anak kembarnya sedang merangkak keluar dari dalam rumah menuju teras.
Azam sedang memberi makan burung kesayangannya yang baru saja ia beli satu Minggu yang lalu.
"Ada apa, Mas?" tanya Aina yang berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur yang berdekatan dengan kamar mandi.
"Anaknya bawa masuk. Nanti Saka dan Suga makan pasir atau tai ayam bisa sakit. Aku tidak mau keluarkan uang untuk mengantarkan mereka berobat," terang Azam sambil menimang-nimang burung kesayangannya di dalam kandang sesekali Azam memercikkan air ke arah burung kesayangannya.
"Kan ada kamu di sini, Mas," ucap Aina sambil mencoba meraih dua putra kembarnya itu.
Tak lama ibu mertua Aina pulang dari pasar sambil membawa kantung plastik penuh dengan belanjaan.
"Ada apa? Siang-siang berisik banget. Bayar ongkos taksi. Uang ibu sudah habis untuk belanja kebutuhan kita," cetus Intan sambil menjatuhkan bokongnya di sofa depan teras.
Azam yang melihat Aina hanya terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun, segera berdiri dan menunjukkan supir taksi yang berdiri dengan dagunya agar Aina segera bergegas mengambil uang di dalam dan membayar ongkos taksi.
"Cepat!" seru Intan sambil menatap tak suka ke arah menantunya itu.
"Mas, aku ...."
"Udah. Pake uang yang aku kasih kemarin ke kamu dulu," perintah Azam cepat.
Uang yang Azam berikan sebesar dua ratus ribu pada Aina terpaksa ia pakai lagi hari ini.
"Tapi uang itu untuk beli pempers Saka dan Suga, Mas," jelas Aina mengiba.
"Besok mas ganti. Cepat, kasian itu supir taksi udah nunggu lama." Azam berdiri lalu meraih dua putra kembarnya.
Selalu seperti ini, saat uang yang sudah ada di tangan Aina sedikit Azam akan memintanya lagi dengan alasan akan menggantikan uang itu tapi entah kapan.
Aina keluar dari dalam kamarnya sambil memegang pecahan uang seratus ribu di tangannya lalu menyodorkan pada supir taksi yang sudah lama nunggu.
"Ini, Mas."
"Maaf, Mbak. Kurang lima ribu," tutur supir taksi itu sambil melirik Intan yang duduk memainkan gawainya.
"Cuma ini, Mas yang saya punya," ucap Aina sambil menahan bulir bening yang akan luruh.