Kusia-siakan Istriku Gara-gara Maharnya Banyak

Benang Biru
Chapter #2

2. Direndahkan

Pagi ini seperti biasa, Azam akan berangkat bekerja ke toko elektronik yang sudah ia rintis sejak masa ia kuliah dulu yang dibantu modal oleh almarhum ayahnya.


Laki-laki yang dulunya mencintai Aina itu sudah siap dengan pakaian rapi dan wangi. Sekilas ia menatap Aina yang sedang meletakkan nasi goreng di atas meja.


"Dik. Ayam goreng tidak ada?" tanya Azam sambil mengangkat kedua alisnya pertanda ia bosan melihat telur dadar di hadapannya.


"Tidak ada, Bang. Adanya cuma ini," ucap Aina sambil menyendokkan nasi kedalam piring yang terletak di depan Azam.


"Tapi kemarin ibu baru belanja," kata Azam.


Terpaksa ia melahap nasi goreng dan telur dadar yang terhidang di meja makan walau tidak ada selera sama sekali.


"Ibu beli susu kalsium untuk dia sendiri dan beberapa pakaian juga telur dan sayuran, Bang. Saka dan Suga juga harus makan sayur setiap harinya, kan?" terang Aina, ia ikut menjatuhkan bokongnya di samping sang suami.


Tubuh kurus Aina mencoba duduk sempurna namun saat bibir pucat itu hendak memasukkan nasi kedalam mulutnya sudah terdengar suara kedua putranya yang menangis dan suara tangisannya semakin dekat.


"Ambil nih anak kamu, menganggu sekali. Coba jangan biasakan tinggalin mereka di kamar, jatuh jadinya!" Intan mengomeli Aina sambil menyodorkan bayi kembar yang terus saja menangis.


"Maaf, Bu."


Hanya itu yang mampu Aina ucapkan, ia beranjak dari duduknya dan membawa Saka dan Suga menuju kamarnya yang terletak di samping kamar tamu.


Aina tidak tidur bersama Azam dengan alasan Azam begitu malas mendengarkan suara ribut dari anak-anak yang sering menangis saat malam hari, mereka tidur bersama hanya saat Azam melepaskan hasratnya saja.


Tak ada rasa iba samasekali di hati Azam saat melihat istrinya diperlakukan buruk oleh ibunya. Intan menunjuk Aina dengan dagunya.


"Lihat itu. Sudah jelek kurus lagi, menyesal tidak kamu ngasih mahar banyak sekali untuk dia?" Intan terus saja mengomel karena begitu kesal dengan apa yang telah terjadi beberapa tahun lalu.


"Menyesal, Bu. Lagi pula mahar yang aku kasih sama dia dikasih untuk ibunya semua buat bayar hutang dan berobat bapaknya, aku kira mahar Aina dulu dapat aku pinjam lagi untuk usaha kita tapi nyatanya tidak," terang Azam setelahnya ia meletakkan sendok nasi lalu bangkit dari duduknya usai menghela napas panjang.


"Azam berangkat ke toko dulu, Bu," sambung Azam sambil menyalim tangan ibunya yang ikut berdiri.


"Makanya nurut kalau dibilang sama orang tua, tidak usah sama dia ya tidak usah," ucap Intan.


"Ceraikan saja dia," sambung Intan setelahnya memanyunkan bibirnya.

Lihat selengkapnya