Malam pun menjelma, usai mempersiapkan makan malam Aina duduk di teras sambil memandang rintik gerimis yang terus saja berjatuhan.
Lelah. Itu Aina rasakan saat ini, tubuhnya butuh istirahat tapi suami dan ibu mertuanya tak membiarkan ia beristirahat sama sekali.
Aina memandang kedua putranya yang sedang terlelap dalam rengkuhannya, sejenak ia berpikir bagaimana jika berpisah dengan Azam apa mungkin ia sanggup mengurus Saka dan Suga sedangkan ia harus mencari nafkah seorang diri.
"Cepat besar anak Mama," lirih Aina lalu tanpa terasa air mata menetes begitu saja.
Kecewa, marah dan sedih. Itu yang dirasakan oleh Aina saat ini, wanita yang kesehariannya hidup tanpa kasih sayang dan cinta itu sedang kecewa dengan keadaan. Aina masih berharap ada keajaiban dan cinta untuknya kelak.
Aina mencium pucuk kepala dua putra kembarnya sambil membisikkan, "kelak jangan mewarisi sifat nenek dan ayahmu."
Tepukan keras mendarat di bahu kiri Aina membuat ia terkejut, saat ini Aina merasa dirinya seperti seorang pembantu dan pemuas nafsu saja untuk suaminya.
"Ayo! Aku sudah seminggu tidak merasakannya," ajak Azam.
Tidak ada kata manja seperti saat awal Azam mengejar cintanya. Penyesalan hanya tinggal penyesalan, Aina yang terpaksa menerima Azam dengan menyanggupi mahar yang Aina buat untuk sebuah penolakan tapi nyatanya kini menjadi senjata bagi dirinya sendiri.
"Bang. Aku capek mengurus Saka dan Suga sendiri. Kepalaku juga rasanya sakit," lirih Aina lalu ia bangkit dari duduknya.
Aina mudah saja bangkit karena kedua putranya berada dalam gendongan kain.
"Kenapa harus menolak ajakan suami? Kau tahu itu dosa, Aina?" Azam dengan mudah berbicara tentang dosa, apa ia pikir selama ini yang ia lakukan bukanlah dosa.
Dengan berat langkah Aina mengikuti Azam menuju kamarnya, menidurkan buah hati di ranjang khusus bayi kemudian Aina beranjak ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan tubuhnya namun Azam terlebih dahulu menyambar lengan Aina.