Aku terbangun di antara ilalang yang tinggi. Rasanya menenangkan, meskipun aku tak ingat bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini. Burung-burung berterbangan di atasku, seperti sedang bermigrasi bersama kawanannya. Ranting pohon terus bergoyang dengan udara segar terus menampar wajahku yang kaku.
Aku perlahan bangkit dari tidurku, menatap pemandangan yang justru membuatku lebih tenang. Ombak menampar bebatuan pesisir, suaranya jernih, sejernih mineral yang ditiupkan. Beberapa kapal pengangkut barang melewati laut biru itu. Beberapa kali suara klakson kapal terdengar dan beberapa lagi mematikan mesin mereka supaya tak menjatuhkan kapal lain dengan deburan ombak yang dibuat oleh kapal.
Tatapanku beralih pada sisi kiriku. Di sana ada seorang pemuda. Mungkin lebih tua daripadaku. Rambutnya berantakan, kumis tipisnya menyeluruhi dagunya. Ia menggunakan jaket berwarna biru, sembari sejak tadi menghisap sigaret berwarna hitam. Aku tidak sadar kapan dirinya berada di sana.
“Kau mau satu?”
Pemuda itu menoleh padaku. Entah kapan ia menyadari keberadaanku. Ia sudah menatapku. Aku bisa melihat kantung matanya lebih jelas daripada tadi. Senyuman tanggung dan asap sigaret yang keluar dari mulutnya. Rambutnya sesekali terhempas oleh angin yang terus kencang datang dati timur.
Pemuda itu kemudian berdiri dan mendekat padaku. Kini duduk tepat di sebelahku sembari menyodorkan kotak sigaretnya yang berwarna merah. Ia tetap tersenyum, meskipun aku tahu itu bukanlah senyuman bahagianya. Aku perlahan meraih satu batang sigaretnya dan mulai membakarnya. Perlahan kadar nikotin masuk ke dalam sel tubuhku, merasuki dan melawan trombosit dalam darahku.
“Di saat seperti ini, nikotin akan menenangkanmu,” ucapnya kembali. Tatapannya tak lepas dari tingkah lakuku, selayaknya mengamati setiap inchi pergerakanku sebagai wanita yang pertama kali mengonsumsi nikotin.
Tembakau dalam sigaretnya sangat kuat. Sangat kuat untuk membuatku kembali tumbang di antara ilalang. Aku tak terbiasa dengan jenis sigaret seperti ini. Selayaknya akan membunuhku dengan perlahan. Pemuda itu tertawa ketika melihatku, bukan seperti tawa penjahat. Seperti ia telah melepaskan bebannya seketika.
“Aku menyukai Osamu Dazai. Dia selalu benar,” ujarku perlahan. Sigaret tadi kembali bertengger di antara jari-jariku.
“Tentang apa?”
Aku terdiam sejenak, kembali menghisap sigaret itu dengan panjang. “Orang sedih itu sensitif dengan orang yang juga bersedih.”